Penyelidikan Ungkap Mantan Presiden Korea Selatan Rancang Darurat Militer untuk Singkirkan Rival
15 December 2025, 18:54 WIB
Presiden Korea Selatan yang telah dilengserkan, Yoon Suk Yeol, diduga merencanakan pemberlakuan darurat militer selama lebih dari satu tahun dengan tujuan menyingkirkan rival-rival politiknya dan memusatkan kekuasaan. Kesimpulan ini disampaikan para penyelidik pada Senin (15/12/2025).
Darurat militer yang dideklarasikan Yoon pada Desember 2024 hanya berlangsung beberapa jam, namun berujung pada kejatuhannya secara cepat dari jabatan presiden.
Melansir Associated Press, penyelidik independen Cho Eun-suk, yang mengumumkan hasil penyelidikan selama enam bulan, menuduh Yoon serta sejumlah sekutu militernya secara sengaja memerintahkan operasi militer terhadap Korea Utara. Langkah tersebut, menurut Cho, dimaksudkan untuk memicu ketegangan keamanan demi membenarkan rencana pemberlakuan darurat militer.
Meski Korea Utara tidak memberikan respons serius, Yoon tetap mendeklarasikan darurat militer dengan menuduh parlemen yang dikuasai kubu liberal sebagai kekuatan anti-negara yang harus segera disingkirkan.
Hingga kini, tidak ada tanggapan langsung dari Yoon, yang sedang ditahan dan menjalani persidangan atas tuduhan pemberontakan serius. Ia secara konsisten membela keputusannya dengan menyatakan bahwa deklarasi darurat militer tersebut merupakan langkah terdesak untuk memperoleh dukungan publik dalam menghadapi Partai Demokrat, oposisi utama yang menurutnya terus menghambat agenda pemerintahannya.
Memprovokasi Korea Utara
Cho mengungkapkan bahwa Yoon dan sejumlah pejabat militer telah mulai merancang penerapan darurat militer sejak sebelum Oktober 2023. Mereka disebut melakukan perombakan besar di jajaran militer, menempatkan orang-orang dekat di posisi strategis, serta menyingkirkan seorang menteri pertahanan yang menentang rencana tersebut. Para perwira tinggi disebut kerap diundang ke jamuan makan malam untuk membangun dukungan atas rencana itu.
Menurut Cho, Yoon bersama Menteri Pertahanan Kim Yong Hyun dan Yeo In-hyung, yang saat itu menjabat sebagai kepala badan kontraintelijen militer, mengoordinasikan sejumlah operasi militer terhadap Korea Utara sejak Oktober 2024. Wakil Cho sebelumnya bahkan menuduh Yoon memerintahkan penerbangan drone ke wilayah Korea Utara, meski Yoon membantah dan mengklaim tidak mengetahui operasi tersebut.
Penyelidik menyimpulkan bahwa Korea Utara kemungkinan tidak melakukan pembalasan karena sedang fokus mendukung perang Rusia di Ukraina. Kondisi ini membuat Yoon tidak memiliki dasar hukum yang cukup untuk menerapkan pemerintahan militer. Namun, ia tetap melanjutkan rencananya dengan dalih perlunya segera "memberantas kekuatan anti-negara".
"Yoon Suk Yeol mencoba mendeklarasikan darurat militer dengan memicu provokasi militer dari Korea Utara, tetapi rencana itu gagal," kata Cho. "Ia mendeklarasikan darurat militer untuk memonopoli dan mempertahankan kekuasaan dengan menguasai lembaga legislatif dan yudikatif serta menyingkirkan lawan-lawan politiknya."
Cho menyoroti pula sikap permusuhan Yoon terhadap para penentangnya. Dalam pertemuan dengan para jenderal militer, Yoon disebut menyebut Han Dong-hun, pesaing utama di Partai Kekuatan Rakyat (People Power Party), sebagai "komunis" dan mengatakan, "Aku akan menembaknya sampai mati". Han diketahui berselisih dengan Yoon terkait sejumlah skandal yang melibatkan istri mantan presiden tersebut.
Dekret Darurat Militer Yoon
Saat Yoon mendeklarasikan darurat militer pada 2024, ratusan tentara mengepung gedung parlemen dan memasuki kantor komisi pemilihan umum. Ribuan warga turun ke jalan dan memadati Majelis Nasional untuk memprotes kebijakan tersebut serta menuntut Yoon mundur.
Para anggota parlemen akhirnya berhasil memasuki gedung dan menggelar pemungutan suara untuk membatalkan dekret darurat militer. Yoon kemudian dimakzulkan, dan pada April, Mahkamah Konstitusi secara resmi mencopotnya dari jabatan presiden.
Dalam pemilu kilat yang digelar pada Juni, kandidat Partai Demokrat Lee Jae Myung terpilih sebagai presiden baru Korea Selatan. Lee menunjuk tiga penyelidik independen untuk menyelidiki pemberlakuan darurat militer oleh Yoon serta berbagai tuduhan lain yang melibatkan Yoon, istrinya, dan para sekutunya.
Cho mengonfirmasi bahwa Yoon bersama 23 orang lainnya, termasuk Menteri Pertahanan Kim Yong Hyun, Perdana Menteri Han Duck-soo, dan Wakil Perdana Menteri Choi Sang-mok, telah didakwa terkait deklarasi darurat militer tersebut. Sejumlah jenderal militer juga ditangkap dan didakwa oleh jaksa militer.
Skandal Gereja Unifikasi
Istri mantan presiden Yoon Suk Yeol, Kim Keon Hee, secara terpisah ditangkap dan didakwa dalam kasus yang tidak berkaitan langsung dengan deklarasi darurat militer suaminya. Salah satu tuduhan utama menyebutkan bahwa Kim menerima suap melalui seorang perantara dari pejabat Gereja Unifikasi yang diduga menginginkan keuntungan bisnis.
Dalam penyelidikan kasus ini, polisi menggerebek sejumlah fasilitas yang terkait dengan Gereja Unifikasi. Penggeledahan dilakukan di markas besar Gereja Unifikasi di Seoul dan di kompleks besar milik Gereja Unifikasi di Gapyeong, wilayah yang berdekatan dengan ibu kota. Langkah ini diambil setelah muncul dugaan bahwa kelompok keagamaan tersebut memberikan uang dan hadiah kepada lebih banyak politikus daripada yang sebelumnya diketahui, termasuk politikus dari Partai Demokrat.
Petugas juga menggeledah sebuah pusat penahanan tempat pemimpin Gereja Unifikasi berusia 82 tahun, Hak Ja Han, ditahan sejak September.
Selain itu, polisi menggeledah rumah dan kantor Chun Jae-soo, mantan menteri kelautan dan perikanan di bawah pemerintahan Presiden Lee Jae Myung. Penggeledahan serupa dilakukan di kediaman mantan anggota parlemen Partai Demokrat Lim Jong-seong serta Kim Gyu-hwan, seorang anggota parlemen dari partai pendahulu Partai Kekuatan Rakyat. Ketiganya diduga menerima suap dari Gereja Unifikasi.
Chun membantah tuduhan tersebut, namun mengundurkan diri dari jabatannya sebagai menteri pekan lalu dengan alasan tidak ingin membebani pemerintahan Presiden Lee.
Dalam pertemuan pekan lalu, Presiden Lee menyerukan penyelidikan menyeluruh terhadap dugaan hubungan tidak transparan antara politisi dan sebuah kelompok keagamaan, meskipun ia tidak menyebut Gereja Unifikasi secara langsung.