Aturan Baru Masuk Amerika Serikat, Pelancong Wajib Setor Riwayat Medsos 5 Tahun Terakhir hingga Serahkan Data Biometrik
11 December 2025, 20:00 WIB
Departemen Keamanan Dalam Negeri Amerika Serikat (DHS) mengajukan usulan baru terkait persyaratan masuk bagi warga negara asing. Melansir NHK World, Kamis, 11 Desember 2025, aturan baru ini secara khusus menyasar pelancong dari negara-negara yang tergabung dalam program Electronic System for Travel Authorization (ESTA).
Dalam proposal tersebut, setiap pemohon ESTA diwajibkan menyerahkan riwayat aktivitas media sosial mereka selama lima tahun terakhir. Tidak hanya itu, pelancong juga diharuskan menggunakan aplikasi khusus untuk mengirimkan foto wajah terbaru alias swafoto (selfie) sebagai bagian dari verifikasi identitas sebelum keberangkatan.
Persyaratan administratif ini juga merambah ke ranah pribadi keluarga pelancong. Calon pengunjung wajib mencantumkan tempat lahir anggota keluarga mereka serta menyerahkan nomor telepon yang digunakan oleh kerabat tersebut dalam kurun waktu lima tahun terakhir.
Melansir The Guardian, aturan ini berlaku bagi 42 negara sekutu AS, termasuk Inggris, Prancis, Jerman, dan Australia. Pihak Bea Cukai dan Perlindungan Perbatasan (CBP) AS bahkan berencana meminta data biometrik yang sangat sensitif, mulai dari pemindaian wajah, sidik jari, DNA, hingga biometrik iris mata, serta alamat email yang digunakan dalam satu dekade terakhir demi alasan keamanan nasional.
Pengetatan kebijakan imigrasi ini terjadi bersamaan dengan penurunan signifikan sektor pariwisata Amerika Serikat. Melansir The Guardian, kunjungan wisatawan asing merosot tajam pada masa jabatan kedua Presiden Donald Trump.
Pariwisata Lesu dan Opsi Jalur Cepat bagi Miliarder
Otoritas pariwisata California memproyeksikan penurunan kunjungan asing sebesar sembilan persen tahun ini. Dampak nyata terlihat di lokasi populer seperti Hollywood Boulevard di Los Angeles yang mengalami penurunan lalu lintas pejalan kaki hingga 50 persen selama musim panas, serta penurunan pengunjung di Las Vegas.
Di tengah situasi ini, Trump bersikeras dengan kebijakannya dengan mengatakan, "Kami ingin memastikan bahwa kami tidak membiarkan orang yang salah masuk ke negara kami."
Namun, di tengah ketatnya aturan bagi turis reguler, terdapat pengecualian bagi kalangan elit. Trump mengumumkan peluncuran Trump Gold Card. Ia menyatakan bahwa warga asing yang membayar kontribusi sebesar satu juta dolar AS ditambah biaya pemrosesan USD 15 ribu dolar (sekitar Rp 250 juta) bisa mendapatkan residensi AS dalam waktu singkat setelah lolos pemeriksaan latar belakang.
Sebaliknya, biaya bagi turis biasa justru membengkak. The Guardian melaporkan adanya biaya tambahan baru sebesar USD 100 (sekitar Rp 1,67 juta) per hari bagi pengunjung asing yang ingin masuk ke taman nasional seperti Grand Canyon dan Yosemite, meskipun tiket masuk akan digratiskan khusus pada hari ulang tahun Trump.
Bayang-Bayang Kekacauan Piala Dunia dan Perbatasan
Kebijakan perbatasan yang semakin ketat ini memicu kekhawatiran besar menjelang Piala Dunia tahun depan saat AS menjadi tuan rumah bersama Kanada dan Meksiko. FIFA menargetkan kehadiran lima juta penggemar, namun rencana pengetatan imigrasi ini dinilai dapat menghambat kelancaran turnamen.
Organisasi hak asasi manusia memperingatkan bahwa FIFA berisiko dianggap sebagai alat hubungan masyarakat bagi pemerintah AS jika penegakan hukum imigrasi yang keras, seperti profil rasial dan penahanan sewenang-wenang, terus terjadi. Ada kekhawatiran bahwa acara olahraga global ini akan menjadi kacau jika razia imigrasi tetap berlangsung intensif selama turnamen.
Dampak kebijakan ini juga terlihat dari statistik perjalanan lintas batas negara tetangga. Data Statistik Kanada menunjukkan penurunan drastis warga Kanada yang bepergian ke AS. Perjalanan mobil pulang-pergi turun 36,9 persen pada Juli 2025 dibandingkan tahun sebelumnya, sementara perjalanan udara komersial turun 25,8 persen.
Selain hambatan transportasi, pengunjung dari negara yang tidak termasuk dalam daftar 42 negara bebas visa kini juga dibebani biaya baru sebesar USD 250 (sekitar Rp 4,17 juta). Pengetatan akses masuk dan kenaikan biaya ini diperkirakan akan terus menekan angka kunjungan internasional ke Amerika Serikat dalam waktu dekat.
Pemeriksaan Ideologi dan Ancaman Kebebasan Berpendapat
Selain masalah administratif dan biaya, kebijakan baru ini menuai kritik tajam karena dianggap mengancam kebebasan berekspresi dan privasi. Melansir NHK World, media AS mengutip para ahli yang menyebut proposal ini dapat menimbulkan chilling effect atau efek yang membuat orang takut berbicara bebas.
Pemerintahan Trump dilaporkan mulai menyaring pandangan yang dianggap anti-Amerika di media sosial saat memproses visa. Instruksi telah diberikan kepada pejabat konsuler untuk menolak visa bagi siapa saja yang pernah bekerja sebagai pengecek fakta (fact-checker) atau moderator konten di perusahaan media sosial, karena dianggap terlibat dalam penyensoran ekspresi di AS.
Kelompok advokasi kebebasan berbicara, Foundation for Individual Rights and Expression (Fire), mengecam keras persyaratan penyerahan data media sosial ini. Sarah McLaughlin dari Fire, sebagaimana dikutip The Guardian, "Mewajibkan pengunjung sementara yang berlibur atau berbisnis untuk menyerahkan lima tahun data media sosial mereka ke AS akan mengirimkan pesan bahwa komitmen Amerika terhadap kebebasan berbicara hanyalah pura-pura, bukan praktik nyata."