OpenAI: 3 Juta Pengguna ChatGPT Alami Gangguan Mental Tiap Minggu
01 November 2025, 12:09 WIB
Raksasa kecerdasan buatan, OpenAI, mengungkapkan sekitar 10% populasi global saat ini menggunakan ChatGPT setiap minggu.
Namun, temuan terbaru menunjukkan adanya tanda-tanda masalah kesehatan mental pada sebagian pengguna saat berinteraksi dengan ChatGPT.
Berdasarkan data internal perusahaan, sekitar 0,07% pengguna mingguan menunjukkan tanda "kedaruratan mental terkait psikosis atau mania", sementara 0,15% lainnya berisiko melakukan "tindakan menyakiti diri atau bunuh diri", dan jumlah yang sama menunjukkan "ketergantungan emosional terhadap AI".
Jika dihitung dengan total secara global, angka itu setara hampir tiga juta orang setiap minggu.
Menanggapi hal itu, OpenAI mengklaim telah bekerja sama dengan 170 pakar kesehatan mental guna meningkatkan cara ChatGPT merespons pengguna yang sedang dalam kondisi rentan.
Perusahaan mengeklaim telah mengurangi respons yang "tidak sesuai" untuk memenuhi perilaku yang diinginkan sebesar 65-80%, serta memperbaiki kemampuan sistem dalam meredakan percakapan dan mengarahkan pengguna ke layanan profesional atau hotline krisis.
Pencegahan lainnya termasuk pengingat untuk beristirahat dalam waktu panjang, meskipun ChatGPT tidak dapat memaksa pengguna untuk menghubungi dukungan atau mengunci akses.
Advertisement
Pengguna ChatGPT Alami Gejala Psikosis
Menurut laporan Gizmodo, Metrik Perusahaan menunjukkan sekitar 0,07% pengguna aktif mingguan dan 0,01% pesan memperlihatkan indikasi darurat kesehatan mental yang berkaitan dengan psikosis. Jumlah tersebut setara dengan sekitar 560 ribu pengguna per minggu.
OpenAI juga mencatat 18 miliar pesan dikirim ke ChatGPT. Dari jumlah itu, sekitar 1,8 juta pesan ditandai dengan gejala psikosis. Sementara 0,15% lainnya menunjukkan tanda-tanda keterikatan emosional pada chatbot, yang diperkirakan mencakup 5,4 juta pesan per minggu.
Langkah OpenAI ini muncul setelah kasus tragis seorang remaja 16 tahun yang mengakhiri hidup setelah meminta saran ke ChatGPT.
Meski perusahaan telah memperketat fitur bagi pengguna di bawah umur, kebijakan lain yang memperbolehkan ChatGPT memiliki "kepribadian" dan kemampuan membuat konten erotis menimbulkan pertanyaan baru tentang komitmen OpenAI dalam menjaga kesehatan mental penggunanya.
Advertisement
OpenAI Kembangkan Mesin Musik Berbasis AI
Sebelumnya, OpenAI diam diam akan mengembangkan teknologi AI terbarunya yang dapat menghasilkan musik, melebihi teks dan video.
Masuknya OpenAI ke dalam ranah musik menjadi langkah strategis untuk menyaingi perintis musik AI seperti Suno dan Udio, bahkan perusahaan tersebut menghadapi tuntutan hak cipta yang besar di bidang industri musik.
Menurut laporan eksklusif dari The Information, OpenAI saat ini sedang melatih sistemnya dengan menerapkan data musik beranotasi yang bersumber dari siswa sekolah seni Juilliard School yang menekankan kualitas dan presisi kreatif, alih-alih melampaui sekadar hasil output generatif yang sederhana.
Pembahasan yang dilaporkan Digital Trends, dikutip Senin (27/10/2025), menunjukkan OpenAI dirancang menggunakan perintah teks dan audio yang akan menciptakan musik, mekanisme ini sebagaimana mirip dengan cara kerja alat Sora yang menciptakan video dari teks.
Proyek ini dirancang untuk mendukung berbagai kasus penggunaan, mulai dari jingle iklan dan skor latar belakang video hingga komposisi berdurasi panjang.
Tak hanya itu, kemampuan baru ini disebut akan terintegrasi ke dalam ChatGPT atau Sora agar pengguna dapat menciptakan musik langsung melalui platform yang sama.
Sebelumnya, mereka membuat proyek eksperimen yang sekarang sudah dihentikan dalam AI musik yaitu MuseNet (2019) dan Jukebox (2020) yang berfungsi sebagai pendahulu bagi model-model baru.
Sistem ini dipandang bukan sekadar penambahan fitur biasa melainkan sebagai medan pertempuran berikutnya antara para creator dan teknologi mesin.
Dengan kehadiran OpenAI, tidak hanya mengandalkan untuk tetap unggul, melainkan pertarungan mengenai siapa yang memiliki kreativitas dan bagaimana kita akan menikmatinya. Berikut ini peluang dan tantangannya:
- Kreator vs AI: Masuknya OpenAI menambah dimensi baru di arena persaingan yang sudah ada. Perusahaan perintis seperti Suno diduga menghadapi tuntutan hukum dari label rekaman dengan lagu berhak cipta.
- Penguatan Ekosistem Bisnis: Dengan penggunaan berbasis OpenAI yang mencapai lebih dari 800 juta, penambahan fitur musik akan memberikan lebih banyak alasan bagi pengguna untuk tetap berada dalam ekosistem, sekaligus membuka potensi monetisasi yang lebih besar.
- Isu Hukum dan Etika: Mengingat kontroversi deepfake yang sempat mendampingi Sora memunculkan peranyaan baru tentang perizinan, persetujuan, dan pembagian pendapatan.
Tantangan Hak Cipta
Meskipun musik yang dihasilkan AI saat ini terdengar seperti hal baru, teknologi ini mengartikan ulang cara kerja industri kreatif. Dari cara kerja pembuatan iklan hingga bagaimana musisi indie merekam demo, alat seperti ini mampu mengubah alur kerja, royalti, dan bahkan makna "berkarya".
Jika alat musik OpenAI bekerja sebagaimana mestinya, siapa pun dapat mengubah soundtrack hingga jingle, tanpa memerlukan perangkat lunak mahal atau studio.
Bagi para kreator atau produser, AI juga bisa menjadi ancaman sekaligus alat dengan menawarkan kreativitas yang lebih cepat, namun juga memunculkan kekhawatiran tentang potensi AI "meniru" gaya khas seorang musisi.
Konsumen mungkin mendapatkan berbagai pengalaman audio dan penyesuaian AI dalam video, game, dan iklan, namun akan menghadapi garis hak cipta yang tidak jelas keasliannya
OpenAI diperkirakan akan mengumumkan alat musik AI ini pada 2026 atau 2027, kemungkinan besar berpotensi terintegrasi ke dalam ChatGPT atau ekosistem Sora.
Namun, jalan menuju inovasi ini tidak akan mulus. Hal utama yang harus diperhatikkan OpenAI, apakah mereka berhasil mendapatkan perjanjian lisensi dengan label-label besar atau justru mereka akan berakhir di pengadilan bersama perusahaan-perusahaan seperti Suno?