Belajar Mitigasi dari Jepang: Keajaiban Kamaishi dan Shinkansen yang Bisa Berhenti Sebelum Gempa
15 September 2025, 11:14 WIB:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/4703954/original/047510000_1704159862-Gempa_Besar_di_Jepang_Picu_Tsunami-AP__6_.jpg)
Gempa magnitudo (M) 4.9 di wilayah Jabodetabek pada Rabu (20/8/2025) pukul 19.54 WIB dipicu oleh aktivitas Sesar Naik Busur Belakang Jawa Barat (West Java Back-arc Thrust). Sesar ini biasa dikenal dengan nama Sesar Baribis.
Bencana itu menyebabkan rumah dan bangunan rusak, perjalanan KRL dan Whoosh terganggu. Jakarta dan daerah penyangganya pun perlu mewaspadai ancaman dari pergerakan Sesar Baribis untuk meminimalisir dampak kerusakannya.
Peneliti Bidang Gempa dan Kebencanaan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Prof Danny Hilman menilai Jakarta dan wilayah sekitarnya tidak siap menghadapi gempa yang disebabkan pelepasan energi sesar purba itu.
Menurut Danny, bangunan-bangunan, terutama rumah penduduk di Jabodetabek tidak didesain memenuhi standar tahan gempa seperti diatur dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) 1726 tahun 2019. Selain itu, banyak bangunan di Jakarta sudah tua karena dibangun berdasarkan data kegempaan di masa lalu sehingga menambah tingkat kerawanannya.
"Seberapa siap, saya pikir sih enggak siap secara umum ya, karena apa namanya, bangunan yang didesain tahan gempa pun kan masih terbatas ya," kata Danny dalam wawancara dengan Liputan6.com, Rabu (27/8/2025).
Faktor lainnya, kata Danny, banyak masyarakat belum paham mengenai potensi gempa dan dampak kerusakan dari gempa Sesar Baribis. Dia menyebut, pemberian edukasi mengenai bahaya gempa Sesar Baribis ini masih sangat minim.
Padahal, pengetahuan dan kesadaran masyarakat menjadi elemen kunci untuk memastikan keselamatan diri dan keluarga. "Jadi secara umum masyarakat masih belum aware lah gitu ya, belum ada kesanaran untuk menentukan gempa," kata
Advertisement
Jabodetabek Perlu Tiru Jepang
Melihatnya pentingnya mitigasi ini, Jabodetabek perlu belajar dari negara seperti Jepang karena sama-sama rentan mengalami bencana gempa. Letaknya yang berada di empat lempeng tektonik membuat Jepang sering diguncang gempa bumi. Mengingat risiko gempa bumi yang tinggi, pemerintah Jepang mencari cara untuk meminimalkan dampak dari gempa.
Dengan letak geografisnya yang rawan, bangunan di Jepang dirancang agar tahan terhadap gempa besar.
Dilansir National Geographic, Jepang menerapkan aturan ini pertama kali setelah gempa bumi dengan magnitudo 7,9 terjadi pada tahun 1923. Gempa itu menyebabkan lebih dari 140 ribu korban jiwa dan merusak ratusan ribu bangunan.
Peraturan seismik di Jepang ini awalnya fokus pada penguatan struktur baru yang sedang dibangun di kawasan perkotaan. Mereka lalu menambahkan pengawasan terhadap konstruksi bangunan kayu dan beton.
Selanjutnya, pemerintah Jepang berhasil mewujudkan sejumlah perubahan signifikan, terutama melalui Building Standard Law pada 1950 dan New Earthquake Resistant Building Standards Amendment pada 1981. Undang-undang 1950 menetapkan standar bangunan yang mampu menahan gempa hingga magnitudo 7 tanpa masalah serius.
Ada beberapa cara agar bangunan di Jepang diwujudkan sesuai standar tahan gempa. Salah satu metode yang paling populer adalah dengan memasang bantalan, seperti karet di dasar pondasi bangunan sehingga dapat meredam guncangan.
:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/4703951/original/060919400_1704159805-Gempa_Besar_di_Jepang_Picu_Tsunami-AP__3_.jpg)
Advertisement
Sistem Peringatan Dini Jepang
Jepang saat ini juga memiliki sistem peringatan dini paling canggih di dunia. Menurut, Badan Meteorologi Jepang, sistem peringatan ini awalnya dikembangkan untuk digunakan dalam memperlambat dan menghentikan kereta api berkecepatan tinggi sebelum terjadi gempa.
Keberhasilan program tersebut ditambah dengan dampak dahsyat gempa bumi Kobe tahun 1995 membuat Jepang membangun sistem peringatan dini nasional. Pada 1 Oktober 2007, Badan Meteorologi Jepang resmi meluncurkan peringatan dini gempa bumi yang disiarkan melalui televisi dan radio.
Peneliti Pusat Riset Kebencanaan Geologi BRIN, Sonny Aribowo mengatakan Indonesia perlu meniru cara Jepang menerapkan system peringatan dini bencana tersebut. Sistem peringatan dini gempa di Jepang memberikan pengumuman awal tentang perkiraan intensitas gempa dan perkiraan waktu datangnya gempa.
Selain disiarkan di televisi dan radio, ponsel warga Jepang akan berbunyi ketika terjadi gempa. Ini karena handphone warga Jepang dilengkapi aplikasi untuk mendeteksi gelombang gempa. Tidak hanya peringatan, pemerintah akan mengirimkan proses dan jalur evakuasi bila bencana terjadi.
"Kita contoh bagaimana Jepang mengembangkan early warning system. Jadi ketika ada gempa bagaimana ada warning yang langsung masuk ke HP dan tidak cuma peringatan, tapi juga bagaimana mereka melakukan evakuasi," papar Sonny.
Jepang juga belajar dari pengalaman bencana di masa lalu dengan mengembangkan kesadaran risiko lewat sekolah sebagai strategi untuk mengurangi risiko bencana. Tujuan utamanya adalah agar siswa dapat aktif berkontribusi dalam mengurangi risiko bencana di komunitas mereka.
"Kita lihat kebiasaan mereka menghadapi gempa itu, kalau kita bilang sudah siap sekali ya," ujar Sonny.
Ada satu kisah dramatis yang tersohor di Jepang tentang Miracle of Kamaishi. Kisah ini menceritakan upaya sebuah sekolah bernama Kamaishi dalam menghadapi gempa bumi dan tsunami 2011 silam.
Tsunami setinggi 10 meter meluluhlantakkan hampir seluruh Jepang. Bangunan dan infrastruktur porak poranda dan rusak berat. 15.269 korban tewas, 5.363 korban luka, dan 8.526 korban hilang.
Akan tetapi, seluruh siswa SD dan SMP Kamaishi yang berjumlah hampir 3.000 orang berhasil selamat. Mereka mengungsi ke tempat yang lebih tinggi dan tidak ada korban jiwa. Cerita ini membuktikan pentingnya edukasi risiko bencana di sekolah mampu menyelamatkan ribuan nyawa anak-anak.
Sonny mengatakan, warga Jepang sudah terbiasa diajari pendidikan bencana sejak kecil, baik di keluarga atau sekolah. Menurut dia, cara Jepang ini sangat penting ditiru sebagai mitigasi bencana paling awal.
"Dari kecil mereka sudah diajari untuk menghadapi gempa. Dan itu yang perlu kita contoh, jadi kita mesti, ya sekali lagi pendidikan usia dini terhadap pengetahuan gempa bumi dan tektonik itu sangat penting di Indonesia," papar Sonny.
:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/5317692/original/065716400_1755401238-IMG_20250817_102020.jpg)
Mitigasi Bencana di Indonesia
Di Indonesia, Sonny menyebut, pemerintah yang daerahnya menjadi jalur patahan Sesar Baribis sebenarnya telah menyiapkan langkah mitigasi bencana. Salah satunya tas jaga yang berisi segala sesuatu yang urgent ketika terjadi gempa dalam satu tas.
Hanya saja, program ini belum tersosialisasi masif ke masyarakat. Dia berharap pemerintah daerah dan stakeholder lain bisa lebih gencar memberikan edukasi kepada publik agar kesiapsiagaan bencana menjadi kebiasaan.
"Mudah-mudahan dengan pendidikan yang terus menerus dilakukan ini akan jadi sebuah kebiasaan," ujar Sonny.
Bagi pemerintah daerah di Jabodetabek, Sonny menyarankan segera lakukan audit berkala kekuatan bangunan, edukasi dan simulasi gempa bagi penghuni bangunan. Upaya ini sangat penting untuk menyelamatkan banyak manusia jika gempa besar Sesar Baribis terjadi di masa mendatang.
"Perlu langkah yang lebih banyak lagi. Jadi pengetahuan gempa ini adalah sebuah kebiasaan yang akan bisa kita lakukan," tutup Sonny.