Jejak Gempa Sesar Baribis, Bahaya yang Tidur di Bawah Kaki Jutaan Orang di Jabodetabek
15 September 2025, 11:01 WIB:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/5349010/original/021557900_1757909312-peta_jalur_sesar_baribis.jpeg)
Rabu malam, 20 Agustus 2025 pukul 20.15 WIB, Ferdi kaget melihat laptop di mejanya bergoyang. Kaki, tangan, dan tubuhnya ikut bergetar. Guncangannya kuat hingga menggoyangkan meja dan sejumlah peralatan kantor.
"Terasa lumayan kuat," kata Ferdi bercerita kepada Liputan6.com.
Ferdi saling lirik dengan Ahmad, teman satu sift di kantornya. Mereka akhirnya sadar setelah guncangan yang terjadi 10 detik. Rupanya itu gempa. Pekerja swasta di Jakarta Pusat ini lari menuju lantai dasar.
Tiba di lantai dasar, Ferdi mengambil handphone lalu berselancar di media sosial. Benar saja, warga di kawasan Jabodetabek sudah heboh merasakan gempa seperti dirinya. Gempa itu berkekuatan Mag 4,9 yang berpusat di Kabupaten Bekasi. Berdasarkan data BMKG, gempa jenis dangkal ini cukup untuk menggetarkan wilayah Jabodetabek. "Sebagai antisipasi, kami semua melakuka sesuai standar prosedur keluar dan berkumpul di ruang terbuka," kata dia.
Serangkaian gempa Bekasi kembali terjadi di Jawa Barat sejak Rabu malam (20/8/2025) sampai Kamis pagi (21/8/2025). PVMBG melaporkan, gempa ternyata dipicu Sesar Baribis melepaskan energi.
Pusat gempa itu termasuk jalur Sesar Baribis yang memanjang lebih dari 100 Km. Wilayah yang dilalui sesar ini di antaranya selatan Indramayu, sisi barat Subang dan Purwakarta, Cirebon, Karawang, Cibatu (Bekasi), Depok, Jakarta hingga Tangerang.
Peneliti Bidang Geologi Gempa dan Kebencanaan di Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Kebumian Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Prof Danny Hilman mengatakan, potensi gempa dari Sesar Baribis ini masih besar meskipun saat ini didominasi gempa-gempa skala kecil.
Advertisement
Sejarah Sesar Baribis: Pemicu Gempa Besar di Jakarta
Sejarah mencatat, Sesar Baribis bukan sekadar ancaman gempa hari ini. Gempa besar pernah mengguncang Jakarta pada 22 Januari 1780 berkekuatan magnitudo 7-8. Ini merupakan contoh nyata ancaman gempa yang diakibatkan pergerakan Sesar Baribis.
Penelitian Nguyen dan Tim tahun 2015 dengan tajuk 'Indonesia's historical earthquakes: Modelled examples for improving the national' menggambarkan guncangan tanah dirasakan di seluruh Jawa dan bagian tenggara Sumatera. Guncangan terkuat terjadi di Jawa Barat.
Gempa menyebabkan 27 gudang dan rumah runtuh di Zandsee dan kanal Moorish gracht (Wichmann, 1918), yang kini terletak di Jakarta Pusat, di lokasi Gedung Pusat Kebudayaan Jakarta saat ini.
Dilaporkan juga terjadi "ledakan dahsyat" yang terdengar dari Gunung Salak 2 menit setelah gempa, dan Gunung Gede mengeluarkan asap. Sementara itu, Bantam (Banten) mengalami getaran kuat. Getaran lemah juga dirasakan di Cheribon (Cirebon), dan gempa laut (seaquake) diamati oleh kapal Willem Frederik yang berada di pintu masuk Selat Sunda.
Gempa besar berikutnya akibat Sesar Baribis terjadi 10 Oktober 1834. Guncangan kecil pada malam 10 Oktober 1834 didahului oleh sebuah "guncangan besar" pada pagi hari, yang dirasakan di Batavia (Jakarta), Bantam (Banten), Krawang (Karawang), Buitenzorg (Bogor), dan Karesidenan Preanger (Priangan).
"Paling buruknya pada 1834 itu Magnitudonya sampai 7 ya dan wilayah Jabodetabek itu sangat-sangat padat ya," tutur Danny.
Guncangan tanah juga dirasakan hingga Tagal (Tegal) di Jawa Tengah bagian timur, sampai Lampongs (Lampung) di Sumatra Barat. Gempa magnitudo minimum yang terjadi yakni magnitudo 7,0.
Ketika itu, kerusakan yang ditimbulkan cukup parah. Istana Bogor sebagian runtuh, termasuk bagian utara bangunan utama, dinding luar timur, dan bangunan tambahan paling utara. Rumah-rumah di Jakarta Timur rusak. Termasuk bangunan pemerintah di Weltevreden (sekarang kawasan Kementerian Keuangan).
Selain itu, akibat gempa ini, reruntuhan menyumbat aliran Sungai Tjiandjawar. Ketika sumbatan itu terlepas, terjadi banjir bandang yang menghanyutkan stasiun pos beserta massa tanah, batu, dan pohon ke hilir.
Guncangan lebih kecil dirasakan di Tjileboet (Cilebut) dan Koripan (Kuripan, Ciseeng) di wilayah Kabupaten Bogor saat ini, serta di Pondok Terong, Sawangan, dan Cineri (Cinere) di wilayah Depok saat ini.
Saat ini, pemantauan mulai Juli 2019 hingga Juli 2021 terdeteksi total 12 gempa bumi yang terjadi sangat dekat dengan garis Sesar Baribis. Dari jumlah tersebut, 10 kejadian berhasil diidentifikasi dalam studi ini, sedangkan dua sisanya dilaporkan oleh penelitian sebelumnya.
Advertisement
Asal Usul Sesar Baribis
Nama Baribis dalam Sesar Baribis diambil dari nama Perbukitan Baribis di daerah Kadipaten, Majalengka, Jawa Barat. Sesar ini diperkenalkan pertama kali oleh van Bemmelen.
Dalam ilmu geologi, sesar atau patahan merupakan fraktur planar atau diskontinuitas dalam volume batuan yang telah ada perpindahan signifikan sebagai akibat dari gerakan massa batuan.
Sesar-sesar berukuran besar di kerak bumi adalah hasil dari aksi gaya lempeng tektonik. Energi yang dilepaskan itu menyebabkan gerakan yang cepat pada sesar aktif. Inilah yang menjadi penyebab utama gempa bumi.
Para peneliti bersepakat, Sesar Baribis adalah sesar aktif yang menjadi bagian dari zona patahan panjang West Java Back-Arc Thrust.
West Java Back-Arc Thrust adalah patahan aktif yang membentang di sisi utara Pulau Jawa bagian barat. Patahan ini memanjang dari Kuningan ke timur, melewati Cirebon, Majalengka, Subang, hingga terpecah menjadi beberapa segmen saat memasuki wilayah Karawang, Bekasi, dan Bogor.
Istilah back-arc merujuk pada posisinya yang berada "di belakang" busur vulkanik atau rangkaian gunung api di Jawa Barat jika dilihat dari sisi selatan.
"Ya sesar Baribis, (West) Java Back-Arc Thrust ya. Memang sudah dikenal sebagai sesar aktif ya, sudah cukup lama juga. Itu sudah masuk ke peta gempa nasional Pusgen sejak tahun 2017," papar Danny.
Peneliti Siska Febyani, dkk dalam Bulletin of Scientific Contribution Geology mengungkap fakta lanjutan. Jurnalnya yang berjudul Analisis Kerentanan Gempa pada Jalur Sesar Baribis Menggunakan Metode Microearthquake (MEQ) itu menyatakan, sesar Baribis termasuk sesar muda.
Aktivitas sesar yang memiliki panjang jalur mencapai 100 km ini sudah berlangsung sejak zaman Pleistosen Akhir hingga Holosen, artinya masih relatif muda dan aktif hingga ribuan tahun terakhir, terutama pada segmen bagian utara. Menurut UBC tahun 1997, sesar ini diklasifikasikan Sesar Aktif Tipe C.
Sesar 'Tidur' di Bawah Jakarta
Penelitian BRIN menyebutkan, ada indikasi sesar ini melintasi selatan Jakarta (perbatasan dengan Depok) dan Bogor. Fakta mengejutkan juga terungkap dalam kajian yang dipublikasikan di jurnal ilmiah bergengsi Scientific Reports (Nature) yang dikonfirmasi oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).
"Keaktifan sesar ini didukung hasil monitoring peralatan sensor seismografi BMKG di mana terdapat aktivitas gempa yang terpantau di jalur sesar, meskipun dalam magnitudo kecil 2,3--3,1," kata Koordinator Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Daryono dalam keterangannya.
Sesar yang berada di bawah Jakarta ini terbukti aktif dan menyimpan potensi gempa signifikan ketika energi elastis yang terakumulasi dilepaskan saat sesar ini patah. BMKG menyatakan Sesar Baribis memiliki laju geser sekitar 5 milimeter per tahun.
Sesar ini harus diantisipasi dampaknya karena bisa menimbulkan gempa-gempa lokal yang dangkal dengan intensitas tinggi. Memicu pergeseran tanah dan bahaya di kemudian hari.
Kejadian gempa Bekasi pada 20 Agustus 2025 menjadi pelajaran dan pengingat nyata bahwa Sesar Baribis masih aktif dan dapat memicu guncangan yang berdampak pada masyarakat maupun infrastruktur strategis. Apalagi di atas tanah tinggal jutaan populasi. Perlu kesadaran dari pemerintah dan masyarakat.
"Kita sudah belajar banyak ya, mulai dari gempa Palu, Lombok, Banten, mulai dari Aceh malah ya yang dari gempa, jadi sudah banyak sekali contoh," tutup Danny.