Pemerintah Bidik Tarif Ekspor Kakao hingga Sawit RI ke AS Turun hingga 0%
14 August 2025, 17:45 WIB:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/4958623/original/090268800_1727869134-IMG-20241002-WA0023.jpg)
Pemerintah tengah menyiapkan langkah negosiasi lanjutan dengan Amerika Serikat untuk menurunkan tarif sejumlah komoditas ekspor Indonesia, termasuk kakao, kopi, sawit, dan produk mineral.
Langkah ini diharapkan dapat menghindarkan komoditas potensial dari beban tarif resiprokal sebesar 19%.
Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Susiwijono Moegiarso, mengatakan komoditas yang menjadi prioritas negosiasi adalah yang tidak diproduksi di Amerika Serikat, memiliki potensi ekspor tinggi dari Indonesia, serta terkait rantai pasok mineral kritis. Pemerintah telah mengajukan daftar komoditas tersebut ke United States Trade Representative (USTR) dan menargetkan penurunan tarif hingga 0%.
"Kita tinggal nunggu nanti kita targetkan itu tarifnya nggak kena yang resiprokal 19% tapi bisa kita usahakan untuk negosiasi sampai 0%. Itu lebih penting karena itu kan konkret ada potensi ekspornya," kata Susiwijono usai menghadiri acara Pembukaan Indonesia Shopping Festival 2025, Kamis (14/8/2025).
Susiwijono menambahkan, pembahasan pungutan ekspor kakao dan komoditas lain akan dibicarakan bersama tim tarif di Kementerian Keuangan. Menurutnya, kakao termasuk komoditas dengan karakteristik khusus karena memiliki volume impor dan ekspor yang sama-sama tinggi.
"Yang paling penting mungkin sedikit info ke teman-teman mengenai rencana kita negosiasi lanjutan untuk beberapa komoditi termasuk kakao tadi. Kita sudah menggulirkan ke USTR, kita sudah komunikasi, kita akan melakukan negosiasi lanjutan untuk beberapa komoditas," ungkap dia.
Susiwijono menambahkan, pembahasan dengan USTR tidak harus dilakukan melalui kunjungan langsung. Beberapa pertemuan akan dilakukan secara daring sebelum pertemuan tatap muka dijadwalkan jika negosiasi telah matang.
Advertisement
Menakar Dampak Tarif Impor 19% AS: Ancaman atau Peluang?
:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/3617290/original/045455000_1635503923-20211029-Neraca-perdagangan-RI-alamai-surplus-ANGGA-6.jpg)
Sebelumnya, penetapan tarif barang impor dari Indonesia ke Amerika Serikat (AS) sebesar 19% memunculkan berbagai spekulasi di kalangan pelaku usaha dan pengamat ekonomi. Meski lebih rendah dari ancaman tarif impor sebelumnya yang mencapai 32%, kebijakan ini tetap menyisakan kekhawatiran sekaligus peluang.
Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik dari UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, memetakan dampak kebijakan ini ke dalam tiga skenario: negatif, netral, dan positif.
Dalam Skenario Negatif, sektor-sektor padat karya seperti udang, alas kaki, dan tekstil menjadi yang paling terdampak. Asosiasi petambak udang memperkirakan ekspor ke AS bisa anjlok hingga 30%, yang berisiko mengancam lebih dari satu juta tenaga kerja di sektor tersebut.
"Jika volume ekspor ke AS turun 20--30%, dampak terhadap PDB nasional diperkirakan sekitar 0,37--0,56 poin, membuat pertumbuhan tahunan bisa terkoreksi ke kisaran 4,3--4,5%," kata Achmad dalam keterangannya, Selasa (12/8/2025).
Selain itu, pembukaan keran impor produk AS secara besar-besaran berpotensi memperlebar defisit perdagangan, menekan nilai tukar rupiah, dan memberi tekanan baru pada industri lokal yang belum sepenuhnya siap menghadapi persaingan.
Advertisement
Skenario Netral: Diversifikasi dan Kebijakan Adaptif
:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/2228015/original/024460700_1527246509-20180524-Ekspor-2.jpg)
Skenario ini memproyeksikan dampak lebih ringan berkat diversifikasi pasar ekspor. Dengan kontribusi AS yang hanya sekitar 9,9% dari total ekspor Indonesia, penurunan ekspor diprediksi terbatas di angka 15%. Dampak terhadap PDB pun hanya sekitar 0,28 poin.
Pemerintah dan dunia usaha disebut mulai bergerak cepat mengalihkan ekspor ke pasar lain seperti China, Timur Tengah, Kanada, dan Uni Eropa. Langkah-langkah adaptif seperti stimulus fiskal, pelonggaran suku bunga BI, dan proyek infrastruktur juga ikut menjaga daya dorong ekonomi domestik.
"Dalam kondisi ini, pertumbuhan ekonomi Semester II 2025 diperkirakan tetap bisa bertahan di kisaran 4,8--4,9%. Konsumsi rumah tangga dan investasi menjadi penopang utama, sementara penurunan ekspor ke AS sebagian besar dapat diimbangi oleh peningkatan permintaan dari pasar lain dan stimulus domestik," jelasnya.
:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/5179950/original/018680400_1743673315-250403_INFOGRAFIS_TARIF_IMPOR_ALA_DONALD_TRUMP_P_01.jpg)