Gencatan Senjata Tarif AS-China Tetap Timbulkan Kekhawatiran Ekonomi
13 August 2025, 11:15 WIB:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/1559574/original/040900500_1491540010-20170406-Bertemu-di-Florida_-Donald-Trump-dan-Xi-Jinping-Saling-Lempar-Senyum-AP-6.jpg)
Amerika Serikat (AS) dan China sepakat memperpanjang penundaan kenaikan tarif impor satu sama lain selama 90 hari, sebagaimana tertuang dalam perintah eksekutif yang ditandatangani Presiden Donald Trump pada Senin, 11 Agustus 2025.
Jika kesepakatan tersebut tidak dibuat, tarif akan langsung meningkat tajama dan berpotensi menghambat perdagangan antara dua ekonomi terbesar dunia secara signifikan. Demikian mengutip CNN, Rabu (13/8/2025).
Berita ini pertama kali dilaporkan oleh CNBC, beberapa jam menjelang batas waktu pukul 12:01 dini hari waktu ET, saat tarif atas barang-barang China seharusnya naik dari 30% menjadi 54%, sementara tarif China atas ekspor AS akan kembali naik dari 10 persen menjadi 34 persen.
Dalam pernyataan bersama dengan Amerika Serikat, Tiongkok mengonfirmasi perpanjangan gencatan senjata perdagangan selama 90 hari dan berkomitmen untuk mempertahankan tarif 10% atas barang-barang AS selama periode tersebut. Pernyataan ini merujuk pada hasil negosiasi bilateral yang berlangsung di Swedia bulan lalu.
Perpanjangan ini terjadi setelah Presiden Trump menerapkan serangkaian tarif "timbal balik" terhadap mitra dagang global, yang membuat tarif efektif AS mencapai level tertinggi sejak era Depresi Besar.
Kenaikan tarif pada barang-barang China, yang merupakan sumber impor terbesar kedua bagi Amerika Serikat, diperkirakan meningkatkan biaya bagi banyak bisnis dan konsumen Amerika Serikat, baik secara langsung maupun tidak langsung melalui pajak impor yang lebih tinggi.
Setelah pertemuan di Swedia pada Juli, para negosiator China bahkan mengklaim kesepakatan telah tercapai. Namun, Menteri Keuangan Scott Bessent dan Perwakilan Dagang AS Jamieson Greer, yang keduanya ikut hadir dalam pertemuan tersebut, membantah klaim itu dengan menegaskan bahwa tidak ada keputusan final tanpa persetujuan dari Presiden Trump.
"Kita lihat saja nanti. Mereka sudah berurusan dengan cukup baik. Hubungan saya dan Presiden Xi sangat baik," ujar Trump sebelumnya pada Senin.
Advertisement
Diskusi AS dan China Berlangsung Konstruktif
:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/4729966/original/074920500_1706586460-taro-ohtani-5T5zmIqs0AM-unsplash.jpg)
Lembar fakta dari Gedung Putih terkait perpanjangan ini menyebutkan diskusi perdagangan dengan China berlangsung secara "konstruktif" dan mengutip pernyataan Trump: "Hubungan kami dengan Tiongkok sangat baik."
Pada akhir pertemuan bulan lalu dengan pejabat perdagangan Tiongkok, Bessent menyampaikan peringatannya kepada rekan-rekannya dari Tiongkok bahwa pembelian minyak Rusia yang terus berlanjut dapat memicu tarif tinggi, berdasarkan undang-undang Kongres yang memungkinkan Trump mengenakan pungutan hingga 500 persen.
Belum jelas apakah pemerintah akan melanjutkan atau bahkan menggandakan ancaman tersebut. Trump baru-baru ini mengancam India, yang juga mengimpor minyak dari Rusia meski dalam jumlah jauh lebih kecil dibandingkan China, dengan tarif sebesar 50 persen jika pembelian tersebut berlanjut hingga akhir bulan ini.
Langkah untuk menjatuhkan sanksi pada India, sementara negara lain yang juga membeli minyak Rusia tidak terkena, mendapat kritik keras dari pemerintah India yang menilai perlakuan itu tidak adil. Trump menyatakan bahwa negara-negara lain mungkin akan menghadapi ancaman serupa. "Anda akan melihat lebih banyak lagi. Jadi, ini baru permulaan," ujarnya pekan lalu.
Advertisement
Bisnis dengan Rusia jadi Sorotan
:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/5145255/original/031334600_1740703507-WhatsApp_Image_2025-02-27_at_14.41.58.jpeg)
Dalam wawancara akhir pekan dengan Fox News, Wakil Presiden JD Vance menyebutkan tarif serupa terhadap China sedang dipertimbangkan, meskipun Trump belum mengambil keputusan final.
"Mengingat kita tampaknya sedang menuju semacam kesepakatan dengan Tiongkok yang mengarah pada semacam pertemuan antara Xi dan Trump, pemerintahan jelas telah bersikap lebih lunak terhadap Tiongkok dalam beberapa minggu terakhir," ujar Wendy Cutler, mantan negosiator perdagangan AS yang kini menjabat sebagai wakil presiden Asia Society Policy Institute.
Jika China memutuskan untuk menghentikan pembelian minyak Rusia, hal itu kemungkinan akan dilakukan "secara diam-diam dan bertahap," bukan melalui pengumuman terbuka di media sosial seperti yang sering dilakukan Trump, tambah Cutler.
Masih Banyak yang Belum Terselesaikan
Bessent juga mengungkapkan kekhawatiran dan penyesalannya terkait penjualan peralatan teknologi penggunaan ganda yakni peralatan yang memiliki fungsi komersial sekaligus militer senilai lebih dari USD 15 miliar atau sekitar Rp16,30 triliun (kurs estimasi Rp16.400/USD) oleh China kepada Rusia, serta pembelian minyak Iran yang tengah dikenai sanksi.
Perselisihan lain antara AS dan Tiongkok muncul terkait ekspor magnet tanah jarang. Meski China setuju untuk meningkatkan ekspor, Trump menyatakan janji tersebut belum terpenuhi.
Selain itu, AS mendorong pencarian pembeli asal Amerika untuk aplikasi TikTok, yang saat ini dimiliki oleh perusahaan Tiongkok. Kongres telah menetapkan tenggat waktu bagi TikTok untuk mengubah kepemilikannya, jika tidak aplikasi tersebut akan dilarang di AS.
:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/5179950/original/018680400_1743673315-250403_INFOGRAFIS_TARIF_IMPOR_ALA_DONALD_TRUMP_P_01.jpg)