Profil Zohran Mamdani, Muslim Pertama yang Jadi Wali Kota New York City
05 November 2025, 14:48 WIB
Kemenangan Zohran Mamdani dalam pemilihan wali kota New York City menandai puncak perjalanan panjang seorang politikus muda berhaluan kiri yang menempuh jalannya dari Kampala, Uganda, hingga memimpin salah satu kota paling berpengaruh di dunia.
Mamdani lahir 34 tahun lalu di Uganda dari keluarga keturunan India. Ia pindah ke Amerika Serikat (AS) pada usia tujuh tahun dan kemudian menjadi warga negara AS pada tahun 2018. Mamdani tumbuh di lingkungan keluarga berpendidikan dan berpengaruh: ibunya adalah sutradara kenamaan Mira Nair---pembuat film "Monsoon Wedding" dan "Mississippi Masala"---sementara ayahnya, Mahmood Mamdani, merupakan profesor sekaligus pakar Afrika yang dihormati.
Melansir CNA, latar belakang keluarganya membuat sebagian pengkritik menyebutnya sebagai "nepo baby", namun Mamdani justru menggunakan privilese itu untuk memperjuangkan nilai-nilai kesetaraan dan keadilan sosial yang ia yakini.
Pendidikan dan Minat Awal pada Musik
Seperti banyak anak dari keluarga liberal elite, Mamdani menempuh pendidikan di sekolah bergengsi Bronx High School of Science, lalu melanjutkan ke Bowdoin College di Maine---sebuah universitas yang dikenal sebagai benteng pemikiran progresif.
Namun, sebelum terjun ke dunia politik, Mamdani lebih dulu mencoba peruntungan di dunia musik. Pada tahun 2015, ia tampil sebagai rapper dengan nama panggung Young Cardamom, terinspirasi oleh grup hip-hop Das Racist, yang juga beranggotakan musisi keturunan India. Dalam karyanya, ia sering bermain dengan referensi dan budaya Asia Selatan.
Meski begitu, karier musiknya tidak bertahan lama. Mamdani kemudian secara jujur menyebut dirinya sebagai "seniman kelas dua". Dari dunia musik itulah, ia mulai menemukan jalannya menuju politik.
Advertisement
Awal Terjun ke Dunia Politik
Ketertarikan Mamdani pada politik muncul ketika ia mengetahui bahwa rapper Himanshu Suri alias Heems terlibat mendukung seorang calon anggota dewan kota. Mamdani bergabung dengan kampanye tersebut sebagai aktivis dan dari sana mulai memahami dinamika akar rumput politik New York.
Ia kemudian bekerja sebagai konselor pencegahan penyitaan rumah, membantu warga berpenghasilan rendah agar tidak kehilangan rumah mereka. Pengalaman ini memperdalam pemahamannya terhadap kesenjangan ekonomi dan masalah sosial yang dihadapi warga kota.
Menjadi Wakil Rakyat dari Queens
Pada tahun 2018, Mamdani mencalonkan diri dan terpilih sebagai anggota Majelis Negara Bagian New York mewakili kawasan Queens, wilayah yang dikenal sebagai rumah bagi komunitas imigran dan pekerja berpenghasilan rendah.
Sebagai politikus muda, ia dengan cepat membangun reputasi sebagai sosialis progresif yang berani. Ia dinilai tampil sebagai seorang muslim yang percaya pada solidaritas lintas identitas---terlihat dari kenyamanannya tampil di parade Pride.
Citra dan Gagasan Politik
Dalam setiap kampanyenya, Mamdani menempatkan isu keterjangkauan hidup sebagai inti perjuangannya. Ia menilai New York harus menjadi kota yang dapat ditinggali semua orang, bukan hanya kaum kaya.
Ia berjanji untuk membatasi kenaikan sewa, menyediakan penitipan anak gratis, transportasi publik tanpa biaya, dan toko bahan pangan yang dikelola pemerintah kota.
Pandangan politiknya yang tegas juga terlihat dalam dukungannya terhadap perjuangan rakyat Palestina. Ia menyebut Israel sebagai "rezim apartheid" dan menyatakan bahwa perang di Gaza merupakan "genosida". Pernyataan tersebut memicu kritik dari sebagian kalangan Yahudi, meski Mamdani kemudian secara konsisten menentang antisemitisme sekaligus mengecam Islamofobia yang ia alami.
Advertisement
Kampanye Menuju Balai Kota
Pada Juni 2025, Mamdani mengejutkan banyak pihak ketika ia menang dalam pemilihan pendahuluan Partai Demokrat untuk berpartisipasi dalam pemilihan Wali Kota New York City. Kemenangannya membawa arus baru dalam politik kota tersebut, dengan gaya kampanye yang memadukan pendekatan klasik dari era 1970-an---yakni kampanye tatap muka dan selebaran---dengan strategi digital modern yang cerdas dan humoris.
"Dia benar-benar merupakan perpaduan antara kampanye hebat ala tahun 1970-an dan kampanye hebat ala tahun 2025," tutur Lincoln Mitchell, profesor di Universitas Columbia.
Saat pemungutan suara pada 4 November 2025, Presiden Donald Trump menyerangnya dengan sebutan "komunis kecil" dan "pembenci Yahudi". Namun serangan itu justru semakin menegaskan citra Mamdani sebagai sosok berbeda yang menentang politik arus utama.
"Ia berhasil menarik dukungan dari pemilih yang kecewa dan warga New York lainnya yang tidak puas dengan status quo serta merasa diabaikan oleh lembaga politik," ungkap Costas Panagopoulos, profesor ilmu politik di Universitas Northeastern.
Selain dikenal sebagai politikus dan aktivis, Mamdani juga seorang penggemar sepak bola dan kriket. Ia baru-baru ini menikah dengan Rama Duwaji, ilustrator asal AS.