Putin Menolak Tunduk pada Tekanan AS, tapi Akui Sanksi Baru Bisa Berdampak
25 October 2025, 14:03 WIB
Vladimir Putin mengatakan bahwa Rusia tidak akan pernah tunduk pada tekanan Amerika Serikat, namun ia mengakui bahwa sanksi baru dapat menyebabkan sedikit kesulitan ekonomi. Hal itu disampaikannya setelah muncul laporan bahwa China dan India mulai mengurangi impor minyak dari Rusia menyusul langkah Washington yang menargetkan dua produsen minyak terbesar Moskow.
Pada hari Rabu (22/10/2025), Amerika Serikat menjatuhkan sanksi---yang menaikkan harga minyak dunia 5 persen--- terhadap Rosneft dan Lukoil, serta hampir tiga lusin anak perusahaan mereka, sebagai bagian dari upaya pemerintahan Trump meningkatkan tekanan terhadap Kremlin agar mau bernegosiasi mengakhiri perang di Ukraina. Sementara itu, Uni Eropa secara terpisah menyetujui pelarangan bertahap impor gas alam cair (LNG) dari Rusia dan menambahkan dua perusahaan penyulingan minyak asal China ke dalam daftar sanksinya terhadap Rusia.
Langkah terhadap Rosneft dan Lukoil---yang bersama-sama menyumbang hampir separuh ekspor minyak mentah Rusia---merupakan sanksi pertama yang dijatuhkan terhadap Moskow sejak Donald Trump kembali ke Gedung Putih pada Januari lalu. Sanksi ini bertujuan menekan sumber pendapatan minyak vital yang membiayai mesin perang Kremlin.
Pada hari Kamis (23/10), pemimpin Rusia itu menyebut sanksi Amerika Serikat sebagai tindakan tidak bersahabat yang tidak membantu memperkuat hubungan kedua negara dan sebagai upaya untuk menekan Rusia, yang menurutnya sia-sia.
"Tidak ada negara yang memiliki harga diri yang akan melakukan sesuatu di bawah tekanan," tambah Putin dalam komentarnya kepada wartawan Rusia, seperti dilansir The Guardian.
Putin meminta Trump untuk memikirkan siapa sebenarnya yang diuntungkan oleh pemerintahannya ketika para penasihatnya mendorong agar menjatuhkan sanksi terhadap minyak Rusia, serta memperingatkan bahwa langkah itu akan menyebabkan kenaikan harga.
Putin menambahkan bahwa akan ada respons yang sangat kuat, jika tidak bisa dibilang luar biasa jika Rusia diserang dengan rudal jelajah Tomahawk milik AS---senjata yang telah lama coba diperoleh Ukraina dari Washington namun tanpa hasil.
Advertisement
Sanksi Belum Efektif, tapi Sudah Berdampak
Pada hari Kamis, muncul tanda-tanda awal bahwa dua pelanggan energi terbesar Rusia menangguhkan impor energi mereka sebagai tanggapan terhadap sanksi baru AS.
Pembeli minyak Rusia terbesar di India, perusahaan swasta Reliance Industries, memberi isyarat bahwa mereka bersiap untuk mengurangi atau bahkan menghentikan sementara pembelian.
"Penyesuaian ulang impor minyak Rusia sedang berlangsung dan Reliance akan sepenuhnya menyesuaikan diri dengan pedoman pemerintah India," kata seorang juru bicara kepada Reuters.
Beberapa sumber juga mengatakan kepada Reuters bahwa perusahaan minyak milik negara China telah menangguhkan pembelian minyak mentah Rusia yang dikirim melalui laut, setidaknya untuk sementara waktu, karena khawatir terkena dampak sanksi baru tersebut.
Sektor minyak dan gas menyumbang sekitar seperlima dari produk domestik bruto (PDB) Rusia dan penurunan mendadak permintaan dari dua pembeli utama itu akan menjadi pukulan berat bagi pendapatan minyak Kremlin sekaligus mendorong harga global semakin tinggi.
China---sekutu terdekat Rusia---dan India, yang berusaha tetap netral dalam perang di Ukraina, sejauh ini mengabaikan tekanan Barat untuk mengurangi pembelian energi Rusia dengan menyebutnya sebagai ancaman kosong.
Kepatuhan terhadap sanksi berarti mereka harus melepaskan akses terhadap minyak mentah Rusia berharga murah yang selama ini membantu melindungi ekonomi mereka dari lonjakan biaya energi global.
Advertisement
Rusia Masih Punya Waktu untuk Bersiap
Pada hari Kamis, Uni Eropa menambahkan dua kilang minyak China---Liaoyang Petrochemical dan Shandong Yulong Petrochemical---ke dalam daftar sanksinya terhadap Rusia. Kedua perusahaan itu merupakan entitas China paling berpengaruh secara ekonomi yang pernah dimasukkan oleh Uni Eropa hingga saat ini.
Kementerian Luar Negeri China menyatakan bahwa pihaknya telah mengajukan protes kepada Uni Eropa.
"China sangat menyesalkan dan dengan tegas menolak sanksi sepihak ilegal yang berulang kali dijatuhkan Uni Eropa terhadap perusahaan-perusahaan China terkait masalah Rusia," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri China Guo Jiakun dalam konferensi pers rutin pada hari Kamis.
"Kami telah menekankan berkali-kali bahwa China bukan pihak yang menciptakan krisis Ukraina dan China juga bukan pihak dalam konflik tersebut."
Trump mengumumkan langkah mengejutkan itu di tengah meningkatnya frustrasiatas perang di Ukraina, yang berpuncak pada keputusan mendadaknya untuk membatalkan pertemuan dengan Putin di Budapest.
Saat ditanya tentang hal itu, Putin mengatakan bahwa pertemuan kemungkinan akan ditunda, sambil menambahkan bahwa mengadakannya tanpa persiapan matang akan menjadi sebuah kesalahan.
Putin menegaskan bahwa ia tetap terbuka untuk berdialog dengan Trump.
"Dialog selalu lebih baik daripada perang," ungkap Putin.
Namun, pejabat Rusia lainnya menyuarakan nada yang jauh lebih tajam. Dmitry Medvedev, mantan presiden Rusia dan kini pejabat senior di bidang keamanan yang dikenal dengan retorika kerasnya, menggambarkan sanksi sebagai tindakan perang.
"Amerika Serikat adalah musuh kita," tulisnya di media sosial. "'Pendamai' yang banyak bicara itu kini sepenuhnya telah menapaki jalan perang melawan Rusia."
Beberapa pakar yang terkait dengan Kremlin mengakui pula bahwa langkah Amerika Serikat dapat melukai ekonomi Rusia.
Igor Yushkov, pakar energi di Universitas Keuangan di bawah pemerintahan Rusia, mengatakan kepada harian bisnis Kommersant bahwa sanksi terhadap Rosneft dan Lukoil akan membuat pelanggan di Asia enggan membeli minyak secara langsung, sehingga perusahaan-perusahaan itu harus bergantung pada rantai perantara yang lebih panjang untuk menyewa kapal tanker dan menjual minyak mentahnya---perubahan yang akan meningkatkan biaya.
Dampak dari sanksi ini sebagian besar akan bergantung pada seberapa ketat penerapannya---terutama apakah Washington bersedia memberlakukan sanksi sekunder terhadap negara-negara yang terus melakukan bisnis dengan perusahaan minyak Rusia.
Rusia memiliki waktu satu bulan untuk bersiap sebelum pembatasan tersebut berlaku penuh dan kemungkinan besar akan menggunakan waktu itu untuk menyesuaikan diri dengan situasi baru.
Moskow telah lama menemukan cara untuk menghindari sanksi Barat melalui skema perdagangan yang tidak transparan serta jaringan armada bayangan-nya.
Jaringan tersebut memanfaatkan kapal-kapal tua yang berlayar di bawah bendera asing yang tidak dikenal dan dikelola melalui perusahaan cangkang di Timur Tengah dan Asia, yang memungkinkan Rusia mempertahankan ekspor minyaknya ke pelanggan utama di India dan China meskipun ada batasan harga dari G7 dan embargo dari Uni Eropa.
Beberapa pihak di Moskow bersikeras bahwa Rusia akan kembali mampu beradaptasi.
"Skema penjualan baru akan muncul begitu saja," kata Mikhail Zvinchuk, seorang blogger militer Rusia populer yang memiliki hubungan dengan kementerian pertahanan. "Itu akan membuat logistik dan biaya menjadi lebih rumit, tetapi bisnis minyak telah menghadapi masalah seperti ini selama tiga tahun terakhir dan tetap bisa bertahan dengan baik."
Namun, jangkauan sanksi Amerika Serikat sangat luas dan bagi sebagian besar perusahaan, risiko terputus dari sistem keuangan Barat yang lebih besar dapat jauh melebihi keuntungan dari terus berdagang dengan Rusia.