Jalan Panjang Pengakuan Palestina Terjerat Diplomasi Basa-basi
13 August 2025, 05:07 WIB:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/5304176/original/083021100_1754211176-7.jpg)
Gelombang pengakuan terhadap Negara Palestina kian menguat. Melansir NY Times, sebanyak 147 dari 193 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sudah mengakui Negara Palestina, yang saat ini berstatus sebagai negara pengamat tetap non-anggota di PBB.
Kemudian, sejak akhir Juli 2025, lima negara lagi --- empat di antaranya sekutu utama Amerika Serikat (AS) --- menyatakan akan bergabung dalam barisan tersebut.
Pertama, Prancis mengumumkan akan mengakui Negara Palestina selama Sidang Majelis Umum PBB pada bulan September. Dalam beberapa hari berikutnya, Malta, Inggris, dan Kanada mengatakan bahwa mereka juga siap mengambil langkah serupa.
Terbaru adalah Australia, di mana Perdana Menteri AnthonyAlbanese mengumumkan akan mengakui Negara Palestina bulan depan.
Pengumuman-pengumuman itu dinilai mencerminkan frustrasi mendalam terhadap cara Israel menjalankan perang di Gaza, yang telah menewaskan puluhan ribu warga Palestina dan membuat sekitar dua juta orang terjebak dalam kemelaratan serta kelaparan ekstrem.
"Genosida, ethnic cleansing, kejahatan perang, dan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Israel terhadap Palestina sudah sangat telanjang dan tidak bisa lagi disembunyikan," tegas penasihat Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES) Smith Alhadar kepada Liputan6.com, Selasa (11/8/).
"Sementara itu, kejahatan-kejahatan Israel dilakukan dengan senjata Barat dan perlindungan diplomatik mereka, terutama AS, sejak awal Israel berdiri pada 1948. Dalam menghukum secara kolektif terhadap semua warga Palestina, di Gaza maupun Tepi Barat, Israel melanggar semua hukum perang, norma internasional, dan HAM, yang justru dibangun negara-negara Barat pemenang Perang Dunia II. Dengan kata lain, sejak Israel melakukan brutalitas di Gaza, tatanan internasional berbasis hukum hancur berantakan."
Di Uni Eropa, peta politik jelas sedang bergeser. Saat ini, 11 dari 27 negara anggota Uni Eropa mengakui Palestina dan keputusan Prancis akan menambah jumlah itu menjadi 12.
Dalam waktu kurang dari setahun, empat negara Eropa---Norwegia, Irlandia, Spanyol, dan Slovenia---telah memberikan pengakuan resmi. Kecuali Norwegia, tiga lainnya merupakan anggota Uni Eropa.
Dari 32 negara anggota NATO, 14 telah mengakui Negara Palestina. Demikian pula 10 anggota G20 dan nantinya dengan bergabungnya Inggris, Kanada, Prancis, dan Australia, jumlahnya akan menjadi 14.
Di ASEAN, pengakuan terhadap Negara Palestina datang dari Indonesia, Filipina, Brunei Darussalam, Kamboja, Malaysia, Laos, dan Vietnam.
Advertisement
Pengamat: Perkembangan Positif
:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/5304175/original/085260000_1754211173-8.jpg)
Dewan Keamanan (DK) PBB memiliki lima anggota tetap: Inggris, China, Prancis, Rusia, dan AS. Jika Prancis dan Inggris benar-benar mengakui Negara Palestina maka AS akan menjadi satu-satunya anggota tetap DK PBB yang belum melakukannya.
Tahun lalu, AS memblokir Dewan Keamanan PBB untuk melanjutkan proses pengakuan Palestina sebagai negara anggota penuh PBB. Dalam pemungutan suara, 12 negara mendukung resolusi, hanya AS yang menolak, sementara Inggris dan Swiss memilih abstain.
Pengakuan yang akan datang dari Prancis turut menandai momen geopolitik besar karena akan menjadi negara G7 pertama yang mengambil langkah ini.
"Pengakuan negara Barat terhadap Palestina perlu kita lihat dari dua sisi. Sisi pertama, ini adalah perkembangan positif yang akan menguatkan posisi Negara Palestina dalam masyarakat internasional. Yang paling mendasar, negara-negara tersebut akan mengakui hak Palestina yang sama dengan yang mereka miliki. Itu artinya, jika negara lain melanggar hak Palestina sebagai negara yang berdaulat, mereka bisa menggunakan instrumen hukum internasional sebagaimana negara-negara lain. Di samping itu, ini akan menguatkan posisi runding Palestina di organisasi internasional seperti PBB. Meskipun harus kita akui bahwa PBB seakan lumpuh dalam peperangan yang terjadi di Gaza," jelas Pengajar di Departemen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada Irfan Ardhani saat dihubungi Liputan6.com, Selasa.
Irfan menambahkan, "Di sisi lain, yang patut disayangkan, mengapa baru sekarang? Mengapa pengakuan itu diberikan saat genosida sudah terjadi di Gaza? Mengapa negara-negara Barat membiarkan Genosida terjadi? Analisis obyektif akan mengatakan bahwa negara-negara tersebut ingin memberi kesempatan bagi Israel untuk melakukan retaliasi terhadap Hamas. Problemnya, sedari awal Israel melakukan serangan membabi-buta yang tidak hanya ditujukan kepada Hamas, namun juga kepada kelompok sipil bahkan pekerja kemanusiaan dan pers yang tidak berdosa."
"Oleh karena itu, meskipun kita perlu mendukung pengakuan tersebut, negara-negara Barat tidak bisa mencuci tangannya yang berlumuran darah dalam kasus ini," tegas Irfan.
Advertisement
Menghidupkan Kembali Solusi Dua Negara
:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/5292937/original/042537800_1753271038-Untitled.jpg)
Palestina adalah negara yang keberadaannya diakui sekaligus dipertanyakan. Negara ini telah mendapat pengakuan dari banyak pihak di dunia, memiliki misi diplomatik di berbagai negara, dan mengirimkan tim untuk berlaga di ajang olahraga internasional, termasuk Olimpiade.
Namun, konflik berkepanjangan dengan Israel membuat Palestina tidak memiliki batas wilayah yang disepakati secara internasional, tidak mempunyai ibu kota resmi, dan tidak memiliki angkatan bersenjata. Di Tepi Barat, Otoritas Palestina yang lahir dari perjanjian damai 1990-an hanya mengendalikan sebagian wilayah, sementara sisanya berada di bawah kekuasaan militer Israel. Di Gaza, wilayah yang juga diduduki Israel, perang besar yang terus berlangsung telah menghancurkan banyak kehidupan dan infrastruktur.
Dengan kondisi tersebut, pengakuan terhadap Palestina sering kali hanya bersifat simbolis. Secara praktis, pengakuan itu jarang membawa perubahan nyata di lapangan, namun tetap memiliki bobot moral dan politik yang besar.
Melansir kantor berita Anadolu, klaim Palestina atas status kenegaraan dimulai pada 15 November 1988, ketika pemimpin Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) Yasser Arafat memproklamasikan negara merdeka dengan Yerusalem sebagai ibu kotanya.
Aljazair menjadi negara pertama yang mengakui deklarasi tersebut, diikuti gelombang pengakuan dari lebih dari 80 negara di Afrika, Asia, Amerika Latin, dan dunia Arab.
Pengakuan Negara Palestina diakui bertujuan menghidupkan kembali solusi dua negara berdasarkan perbatasan pra-1967, dengan Israel dan Palestina hidup berdampingan dalam damai dan aman.
"(Pengakuan Negara Palestina) ini bagian dari dorongan besar terakhir untuk menghidupkan kembali solusi dua negara," kata Victor Kattan, asisten profesor di Fakultas Hukum Universitas Nottingham. "Ini adalah bagian dari paket besar untuk mengakhiri konflik di Gaza sekali untuk selamanya, membangun kembali dan merehabilitasinya, menekan kebijakan permukiman Israel, menghentikan aneksasi lebih lanjut."
Dia meyakini pula bahwa langkah pengakuan ini juga ditujukan untuk mengoordinasikan langkah-langkah lanjutan terhadap Israel maupun Hamas.
"Gagasan dasarnya adalah menyingkirkan Hamas dari pemerintahan Gaza dan menggantikannya dengan pasukan keamanan Otoritas Palestina yang akan menjalankan Negara Palestina," tutur Kattan. "Lalu sebagai imbalannya, Otoritas Palestina akan setuju untuk mengadakan pemilu pada 2026."
Dalam NewYork Declaration---sebuah deklarasi penting yang disepakati dalam Konferensi Internasional Tingkat Tinggi mengenai Penyelesaian Damai atas Masalah Palestina dan Implementasi Solusi Dua Negara, yang berlangsung di New York City pada 28--30 Juli 2025---Otoritas Palestina akan menjalani reformasi, Israel diharapkan menghentikan aneksasi, mengizinkan bantuan kemanusiaan masuk ke Gaza, dan terlibat dalam proses perdamaian yang kredibel.
Sulit Tanpa Komitmen Israel dan AS
:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/1738100/original/023493200_1539576435-P_1.jpg)
Pengakuan terhadap Negara Palestina, betapapun luasnya dukungan internasional, tidak akan membawa perubahan nyata selama Israel tidak berkomitmen pada solusi dua negara. Sebab, tanpa persetujuan dan keterlibatan Israel, pembentukan Negara Palestina secara penuh akan selalu terhambat, baik dari segi batas wilayah, kontrol keamanan, maupun pemerintahan.
Situasi ini semakin kompleks karena Israel memiliki dukungan kuat dari AS, sekutu utamanya. Dukungan ini tidak hanya mencakup bantuan militer dan ekonomi, namun juga perlindungan diplomatik di forum-forum internasional, termasuk hak veto di Dewan Keamanan PBB. Selama konfigurasi politik ini bertahan, pengakuan terhadap Palestina lebih cenderung menjadi pernyataan moral dan simbol politik, bukan langkah yang mengubah realitas di lapangan.
Bagaimanapun, Kattan tidak melihat pemerintahan Donald Trump akan mengubah sikapnya.
"Kalau pun ada perubahan, justru menjadi semakin ekstrem," kata dia.
Namun, dia mengatakan bahwa pengakuan secara global dapat membuat penolakan AS menjadi kurang relevan.
"Tanda tanya atas status kenegaraan Palestina (nantinya) tidak akan ada lagi, bahkan jika AS tidak mengakuinya," ujarnya. "Seluruh dunia akan mengakuinya."
Pengakuan resmi juga akan membawa perubahan diplomatik.
"Implikasi langsung dari tindakan pengakuan resmi adalah bahwa hubungan antara, misalnya, Inggris dan Prancis dengan Palestina, tidak lagi menjadi hubungan antara sebuah negara dengan aktor non-negara," jelas Kattan.
"Hubungan itu akan menjadi antara dua negara berdaulat... Artinya, ketika Inggris atau Prancis menandatangani suatu perjanjian, pihak yang terlibat bukan lagi Otoritas Nasional Palestina, melainkan Negara Palestina."
Perubahan itu berarti Palestina akan memiliki kedutaan besar, bukan sekadar misi umum, dan duta besarnya akan memperoleh kekebalan diplomatik penuh.
"Ini juga berarti bahwa negara tersebut akan kebal dari proses hukum di pengadilan domestik negara lain," terang Kattan.
Senada, Smith mengatakan, "Memang pengakuan ini hanya bersifat simbolis selama AS, pemegang hak veto di DK PBB, menolak mengakui Negara Palestina. Namun, secara moral dan diplomasi, pengakuan negara Barat penting karena akan sangat membantu perjuangan Palestina memiliki negara berdaulat dan independen berdasarkan resolusi-resolusi DK PBB yang relevan pada masa mendatang."