Stimulus OJK Jadi Angin Segar Perbankan di Tengah Tantangan Ekonomi, Apa Itu?

27 March 2025, 17:30 WIB
Stimulus OJK Jadi Angin Segar Perbankan di Tengah Tantangan Ekonomi, Apa Itu?

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terus mendorong stabilitas dan pertumbuhan sektor perbankan di tahun 2025, meskipun menghadapi berbagai tantangan ekonomi.

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, menyatakan bahwa hingga Januari 2025, kinerja intermediasi perbankan tetap tumbuh positif dengan profil risiko yang terjaga.

Data menunjukkan bahwa pertumbuhan kredit masih melanjutkan tren positif dengan angka 10,27% yoy, sementara Dana Pihak Ketiga (DPK) tumbuh 5,51% yoy.

"Sementara itu, kondisi likuiditas industri perbankan tetap memadai dengan rasio Alat Likuid/Non-Core Deposit (AL/NCD) dan Alat Likuid/Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) masing-masing sebesar 114,86% dan 26,03% masih di atas threshold masing-masing sebesar 50% dan 10%. Adapun Liquidity Coverage Ratio (LCR) berada di level 211,20%," kata Dian dikutip dari jawaban tertulisnya, Kamis (27/3/2025).

Sederet Insentif

Sebagai upaya mendukung kebijakan pemerintah, OJK telah mengeluarkan serangkaian insentif bagi sektor perbankan, terutama untuk meningkatkan cadangan devisa negara dan memperkuat program pembiayaan perumahan.

Pertama, insentif untuk peningkatan Cadangan Devisa. OJK mendukung implementasi PP No.8 Tahun 2025, yang mengatur Devisa Hasil Ekspor (DHE) dari Sumber Daya Alam (SDA), guna memperkuat cadangan devisa negara.

"Kebijakan tersebut diharapkan mendorong perbankan untuk berkontribusi dalam implementasi PP dimaksud secara optimal," ujarnya.

Selain itu, bank dapat memanfaatkan penempatan dana DHE SDA tersebut sebagai Dana DHE SDA yang ditempatkan di bank dapat digunakan sebagai agunan tunai dan tetap dikategorikan sebagai kredit berkualitas lancar.

Kemudian, penyediaan dana yang dijamin oleh DHE SDA dapat dikecualikan dari perhitungan BMPK/BMPD.

Serta, Penempatan DHE SDA pada instrumen perbankan tidak dianggap sebagai Dana Pihak Ketiga (DPK) dan tidak mempengaruhi likuiditas perbankan. Jika ditempatkan pada instrumen Bank Indonesia, statusnya hanya sebagai titipan dan tidak berdampak pada rasio prudensial seperti LCR, NSFR, KPMM, CEMA, BMPK/BMPD, serta kualitas aset, selama tidak ada eksposur risiko.

Insentif OJK Lainnya

Insentif OJK Lainnya

Kedua, insentif untuk Pembiayaan Perumahan. Dalam upaya meningkatkan akses masyarakat terhadap pembiayaan rumah, OJK memberikan beberapa kebijakan baru, di antaranya penegasan bahwa tidak terdapat ketentuan OJK yang melarang pemberian kredit/pembiayaan untuk debitur yang memiliki kredit dengan kualitas non-lancar, termasuk apabila akan dilakukan penggabungan fasilitas kredit/pembiayaan lain, khususnya untuk kredit/pembiayaan dengan nominal kecil.

Selanjutnya, kualitas KPR dapat dinilai hanya berdasarkan ketepatan pembayaran, yang bersifat lebih longgar dibandingkan kredit lainnya dimana bank menilai dengan 3 pilar (prospek usaha, kinerja debitur, dan kemampuan membayar).

Lalu, untuk Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dapat dikenakan bobot risiko yang rendah dan ditetapkan secara granular dalam perhitungan aset tertimbang menurut risiko untuk risiko kredit (ATMR Kredit), yang diharapkan bank dapat memiliki ruang permodalan yang lebih besar untuk menyalurkan KPR selanjutnya.

"Dukungan sisi pendanaan kepada pengembang perumahan melalui pencabutan POJK No.44/POJK.03/2017 jo. POJK No.16/POJK.03/2018 tentang Pembatasan Pemberian Kredit atau Pembiayaan oleh Bank Umum untuk Pengadaan Tanah dan/atau Pengolahan Tanah," ujarnya.

Dampak bagi Perbankan dan Masyarakat

Dampak bagi Perbankan dan Masyarakat

Dian pun berharap dengan berbagai insentif ini, sektor perbankan dapat lebih fleksibel dalam menyalurkan kredit dan pembiayaan, terutama dalam mendukung sektor properti dan meningkatkan cadangan devisa nasional.

Bagi masyarakat, insentif ini dapat meningkatkan akses terhadap pembiayaan perumahan dengan persyaratan yang lebih ringan, sementara bagi dunia usaha, kebijakan ini memberikan peluang lebih besar dalam memperoleh pendanaan.

Dengan tetap menerapkan prinsip kehati-hatian, kebijakan ini diharapkan mampu menjaga keseimbangan antara pertumbuhan industri perbankan dan stabilitas sistem keuangan nasional.

Sumber : Liputan6.com