Operasi Gabungan Koalisi Pimpinan AS dan Irak Tewaskan Pemimpin ISIS Abu Khadija
15 March 2025, 16:44 WIB:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/1065968/original/094012800_1448422509-151125-ilustrasi-ISIS.jpg)
Pemimpin ISIS Irak dan Suriah tewas dalam operasi yang dilakukan oleh anggota dinas intelijen nasional Irak bersama dengan pasukan koalisi yang dipimpin oleh Amerika Serikat. Hal ini diumumkan oleh Komando Pusat AS (CENTCOM) dan perdana menteri Irak pada Jumat (14/3/2025).
"Bangsa Irak terus meraih kemenangan yang mengesankan atas kekuatan kegelapan dan terorisme," kata Perdana Menteri Mohammed Shia al-Sudani dalam pernyataan yang diunggah di platform media sosial X.
Pernyataan yang sama menyebutkan bahwa Abdallah Maki Mosleh al-Rifai atau yang dikenal dengan nama "Abu Khadija" dikenal sebagai salah satu teroris paling berbahaya di Irak dan dunia.
Pada malam Jumat di platform Truth Social, Presiden Donald Trump juga mengumumkan hal serupa. Dia menulis, "Hari ini, pemimpin ISIS yang buron di Irak telah tewas. Dia diburu tanpa henti oleh pejuang perang kita yang berani dalam koordinasi dengan pemerintah Irak dan pemerintah regional Kurdistan. KEDAMAIAN MELALUI KEKUATAN!"
CENTCOM menyebutkan bahwa Abu Khadija tewas dalam "serangan udara presisi" pada Kamis (13/3) di Provinsi Al Anbar, Irak, dalam operasi yang melibatkan intelijen Irak dan pasukan CENTCOM. Seorang anggota ISIS lainnya juga tewas dalam serangan yang sama.
Setelah serangan udara, kata CENTCOM, pasukan AS dan Irak bergerak untuk menemukan kedua teroris yang telah tewas mengenakan rompi bunuh diri yang belum meledak dan dipersenjatai dengan berbagai senjata. Abu Khadija diidentifikasi menggunakan tes DNA yang telah dikumpulkan selama sebuah penggerebekan sebelumnya yang berhasil dia hindari.
"Abu Khadija adalah salah satu anggota ISIS paling penting dalam seluruh organisasi ISIS global," kata komandan CENTCOM Jenderal Michael Erik Kurilla. "Kami akan terus membunuh teroris dan membongkar organisasi mereka yang mengancam tanah air kami serta personel AS, sekutu, dan mitra di wilayah ini dan sekitarnya."
Pengumuman ini datang pada hari yang sama dengan kunjungan pertama diplomat senior Suriah ke Irak, di mana kedua negara berjanji untuk bekerja sama memerangi ISIS.
Menteri Luar Negeri Irak Fouad Hussein mengatakan dalam konferensi pers bahwa "ada tantangan bersama yang dihadapi masyarakat Suriah dan Irak, terutama teroris ISIS." Dia mengungkapkan bahwa para pejabat telah berbicara "secara detail tentang pergerakan ISIS, baik di perbatasan Suriah-Irak, di dalam Suriah, maupun di dalam Irak" selama kunjungan tersebut.
Hussein menyebutkan bahwa dalam pertemuan baru-baru ini di Amman, Suriah, Irak, Turki, Yordania, dan Lebanon telah sepakat membentuk pusat operasi gabungan untuk menghadapi ISIS. Menurutnya, pusat operasi ini akan segera memulai tugasnya.
Advertisement
Kekhawatiran Irak Pasca Jatuhnya Rezim Assad
:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/2802840/original/008476400_1557624227-akalo.jpeg)
Hubungan antara Irak dan Suriah agak tegang setelah jatuhnya mantan Presiden Suriah Bashar al-Assad. Al-Sudani berkuasa dengan dukungan koalisi faksi-faksi yang didukung oleh Iran dan Teheran adalah pendukung utama Assad.
Adapun presiden sementara Suriah saat ini adalah Ahmad al-Sharaa atau yang sebelumnya dikenal sebagai Abu Mohammed al-Golani. Dia pernah bertempur sebagai militan Al-Qaeda di Irak setelah invasi AS pada tahun 2003 dan kemudian melawan pemerintah Assad di Suriah.
Namun, Menteri Luar Negeri Sementara Suriah Asaad Hassan al-Shibani menekankan pada hubungan historis antara kedua negara.
"Sepanjang sejarah, Baghdad dan Damaskus telah menjadi ibu kota dunia Arab dan Islam, berbagi pengetahuan, budaya, dan ekonomi," ujarnya seperti dikutip dari CBS News.
"Memperkuat kemitraan antara kedua negara tidak hanya akan menguntungkan rakyat kita, namun juga akan berkontribusi pada stabilitas wilayah, membuat kita kurang bergantung pada kekuatan eksternal dan lebih mampu menentukan nasib kita sendiri."
Operasi yang menewaskan Abu Khadija dan kunjungan diplomat Suriah ke Irak ini terjadi pada saat para pejabat Irak khawatir akan kebangkitan kembali ISIS setelah jatuhnya Assad di Suriah.
Meskipun penguasa baru Suriah --- yang dipimpin oleh kelompok pemberontak Hayat Tahrir al-Sham (HTS) --- telah mengejar sel-sel ISIS sejak berkuasa, beberapa pihak khawatir akan keruntuhan keamanan secara keseluruhan yang dapat memungkinkan kelompok tersebut untuk bangkit kembali.
Advertisement
Misi Militer Koalisi Pimpinan AS dan Perubahan Situasi di Suriah
:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/2729393/original/024018200_1550210250-isiss.jpg)
Tahun lalu, AS dan Irak mengumumkan kesepakatan untuk mengakhiri misi militer koalisi yang dipimpin AS dalam memerangi ISIS di Irak pada September 2025. Sebagai bagian dari kesepakatan ini, pasukan AS akan menarik diri dari beberapa pangkalan militer yang telah mereka tempati selama dua dekade kehadiran militer di negara tersebut.
Pada saat kesepakatan itu tercapai, para pemimpin politik Irak menyatakan bahwa ancaman ISIS telah berhasil dikendalikan dan mereka tidak lagi memerlukan bantuan dari Washington untuk menghadapi sisa-sisa sel teroris yang masih ada.
Namun, jatuhnya rezim Assad di Suriah pada Desember 2024 memicu evaluasi ulang terhadap sikap tersebut. Beberapa pihak, termasuk anggota Kerangka Koordinasi (sebuah aliansi partai politik di Irak yang sebagian besar terdiri dari kelompok Syiah dan memiliki hubungan dekat dengan Iran), mulai memikirkan ulang atau mengevaluasi kembali sikap mereka terkait kesepakatan dengan AS tentang penarikan pasukan koalisi dari Irak.
Kerangka Koordinasi ini merupakan kelompok politik yang berperan penting dalam mengantarkan al-Sudani menjadi perdana menteri Irak pada akhir tahun 2022. Dengan kata lain, koalisi ini memiliki pengaruh besar dalam pemerintahan Irak saat ini.