AS Cabut dari Perjanjian Paris, Pertamina Bakal Gencar Cari Sumber Migas Baru
12 February 2025, 17:15 WIBPresiden Donald Trump menarik Amerika Serikat (AS) dari Perjanjian Iklim Paris atau Paris Agreement atau Perjanjian Paris. PT Pertamina (Persero) melihat peluang dari mundurnya AS tersebut.
Direktur Eksplorasi Pertamina Hulu Energi, Muharram Jaya Panguriseng mengatakan, tindakan Donald Trump itu bertolak belakang dengan komitmen sejumlah negara lain dalam Perjanjian Paris. Apalagi, AS merupakan negara besar dan inisiator perjanjian itu.
"Ketika orang ingin mengatakan tinggalkan energi fosil, Trump malah ngomong 'drill baby, drill'," kata Muharram dalam Media Gathering Pertamina Hulu Energi di The Patra Resort, Bali, dikutip Rabu (12/2/2025).
Dia mengatakan, tindakan tersebut membuat Indonesia harus mengambil pilihan. Salah satu yang menjadi pertimbangan adalah keperluan mengikuti Perjanjian Paris setelah AS menarik diri.
Dia menuturkan, tidak adil jika negara sekelas AS keluar dari komitmen itu, dan kembali menggunakan energi fosil sementara negara lain harus ikut secara penuh komitmen itu.
"Berdasarkan kondisi ini, nah ini pertanyaan berpulang kepada kita, Indonesia akan ikut gayanya Trump atau akan ikut 100 persen dengan protokol Paris? Saya kira tidak adil bagi kita kalau kita ikut protokol Paris sementara negara-negara besar saja itu masih melakukan pengeboran," bebernya.
Muharram menyebut, hal ini juga sejalan dengan arahan Presiden Prabowo Subianto. Yakni pada konteks pemanfaatan energi, baik fosil maupun energi hijau. Keduanya harus tetap dimanfaatkan secara bersamaan sambil melakukan transisi.
"Bahwa, ya kita tidak 100 persen pada energi hijau di atas kita, tidak 100 persen fosil, tetapi kita upayakan yang bisa kita lakukan, tetapi tetap kebutuhan energi untuk pembangunan itu dilakukan," tegas dia.
Advertisement
Cari Sumber Energi Baru
Menyambung hal tersebut, Muharram menegaskan perlu mencari sumber energi baru untuk menopang kebutuhan pada masa mendatang. Artinya, langkah eksplorasi dan peningkatan produksi pun perlu dilakukan untuk menjawab visi Indonesia Emas 2045.
Pada bagian ini, Pertamina Hulu Energi (PHE) dinilai harus mengambil peran secara maksimal. Terutama mencari sumber-sumber minyak dan gas bumi baru.
"Oleh sebab itu, ketika protokol Paris itu sering digaungkan, saya terus terang punya program sendiri yang bertolak belakang dari itu. Yaitu agresivitas dari pengeboran eksplorasi di PHE," ungkapnya.
"Nah, oleh sebab itu, untuk memastikan bahwa kebutuhan energi kita terpenuhi, saya tidak tahu apakah akan memenuhi 100 persen swasembada atau tidak, tetapi Pertamina harus mengambil peran untuk terus mencari sumber migas baru," Muharram menambahkan.
Advertisement
Tak Adil Buat Indonesia
Diberitakan sebelumnya, Presiden Donald Trump mengumumkan bahwa Amerika Serikat (AS) menarik diri dari Perjanjian Iklim Paris atau Paris Agreement. Tindakan dari Donald Trump ini menarik perhatian Utusan Presiden Bidang Iklim dan Energi Hashim Sujono Djojohadikusumo.
Menurut Hashim, dengan keluarnya AS ini membuat Perjanjian Iklim Paris tidak adil untuk Indonesia.
"Kalau Amerika Serikat tidak mau menuruti perjanjian internasional (Paris Agreement), kenapa negara seperti Indonesia harus mematuhi (Paris Agreement)?" ujar Hashim dikutip dari Antara, Jumat (31/1/2025).
Hashim membandingkan emisi karbon antara AS dengan Indonesia. Amerika Serikat menghasilkan kurang lebih 13 ton karbon per kapita per tahun. Sedangkan, Indonesia menghasilkan 3 ton karbon per kapita per tahun.
Menurut Hashim, perbandingan tersebut menunjukkan bahwa pencemaran di AS yang lebih besar dibanding Indonesia, bahkan salah satu negara pencemar terbesar di dunia.
"Ini adalah masalah keadilan. Indonesia 3 ton, Amerika 13 ton, dan Indonesia yang disuruh menutup pusat-pusat tenaga listrik, tenaga uap untuk dikurangi. Rasa keadilannya di mana?" ucap Utusan Presiden di Bidang Iklim tersebut.
Oleh karena itu, Hashim menyampaikan Indonesia masih mempelajari lebih lanjut dampak dari keluarnya Amerika Serikat dari Paris Agreement. Yang jelas, lanjut dia, masa depan penuh dengan ketidakpastian, utamanya soal transisi energi. Implikasinya, Indonesia harus merencanakan program pembangunan dengan situasi yang penuh dengan ketidakpastian.
"Indonesia selalu mau menjadi anak baik, the good boy. Tapi, the big boys (anak-anak besar), belum tentu jadi good boy juga, kan?" kata Hashim.
Butuh Biaya Besar
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menyampaikan bahwa keluarnya Amerika Serikat dari Perjanjian Iklim Paris atau Paris Agreement membuat Indonesia dilema dalam mengembangkan energi baru dan energi terbarukan.
Bahlil menyoroti tingginya biaya yang dibutuhkan untuk mengembangkan energi baru terbarukan apabila dibandingkan dengan menggunakan energi fosil di Indonesia.
Dengan keluarnya Amerika Serikat sebagai salah satu inisiator dari Paris Agreement dan surutnya lembaga pembiayaan untuk proyek-proyek energi terbarukan, Bahlil mempertimbangkan ulang nasib pengembangan energi baru dan terbarukan di Indonesia.
Meskipun demikian, untuk saat ini, Bahlil menyatakan Indonesia masih berkomitmen mengembangkan energi baru dan energi terbarukan sebagai bentuk dari tanggung jawab sosial dalam rangka menjaga kualitas udara.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Selasa (28/1) memastikan Amerika Serikat (AS) telah secara resmi memberi tahu mengenai pengunduran dirinya dari Perjanjian Iklim Paris.
Perjanjian Paris tentang perubahan iklim diadopsi pada 2015 oleh 195 anggota Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim.
Tujuannya adalah untuk membatasi peningkatan suhu rata-rata global hingga jauh di bawah dua derajat Celsius di atas tingkat praindustri, dan sebaiknya mendekati 1,5 derajat Celsius.