Indonesia Harus Ambil kesempatan dari Kebijakan Ekonomi Donald Trump
12 February 2025, 17:00 WIB![Indonesia Harus Ambil kesempatan dari Kebijakan Ekonomi Donald Trump](https://cdn1-production-images-kly.akamaized.net/YAr_VoXpdkSs3pjGU6r-KcruS-I=/640x360/smart/filters:quality(75):strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/4528780/original/024896200_1691393634-WhatsApp_Image_2023-08-07_at_14.19.17.jpeg)
Kebijakan ekonomi Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump terkait tarif impor untuk beberapa negara seperti China, Kanada, dan Meksiko, tengah jadi sorotan dunia saat ini. Beberapa negara melihat ini bukan ancaman tetapi justru peluang dari kebijakan Donald Trump tersebut.
Ketua Dewan Pembina Indonesia Business Council (IBC) Arsjad Rasjid menilai, imbas kebijakan Trump bisa dilihat dari beberapa sisi. Menurutnya, Indonesia bisa mengambil sudut pandang positif terhadapnya.
"Untuk kita, kita harus melihat peluangnya. Misalnya contoh, kalau mereka enggak mau beli produk China, kalau produk Indonesia gimana?" kata Arsjad di Jakarta, Rabu (12/2/2025).
"Dengan begitu, pengusaha China akan lebih banyak investasi di Indonesia. Kalau enggak, tidak bisa dia jualan," dia menambahkan.
Menurut dia, Indonesia harus bisa mengambil sisi positif dari kebijakan Trump, lantaran banyak potensi perdagangan yang bisa dikawal oleh Indonesia. Tak hanya itu, Indonesia pun didorong untuk bisa bersinergi dengan negara tetangga dalam menyikapinya.
"Di sisi ini juga yang penting, bicara mengenai, kenapa enggak Indonesia, kenapa enggak Asean, menjadi the supply chain," ujar Arsjad.
Sudut pandang terhadap kebijakan Donald Trump pun telah beberapa kali diutarakan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia. Khususnya setelah Amerika Serikat memilih keluar dari Paris Agreement.
Bahlil bilang, keputusan Trump hengkang dari Paris Agreement membuat batu bara kembali dibutuhkan. Utamanya sebagai sumber kelistrikan yang lebih hemat biaya dibanding energi baru terbarukan (EBT).
"Kita pikir batu bara udah mau selesai, eh bernyawa lagi barang ini. Jadi bapak/ibu semua, memang batu bara ini jujur saya katakan harganya jauh lebih murah," kata Bahlil di Mandiri Investment Forum 2025 di Fairmont Hotel, Jakarta, Selasa (11/2/2025) kemarin.
Advertisement
Ubah Skema Pemakaian Energi
![Ubah Skema Pemakaian Energi](https://cdn0-production-images-kly.akamaized.net/wZ2AqLbtK_5QB5OpgJsokaYB0bs=/640x0/smart/filters:quality(75):strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/5113319/original/040054400_1738220507-IMG-20250130-WA0001.jpg)
Bahlil menilai, kebijakan Trump itu pun turut mengubah skema pemakaian energi di industri global. Yang tadinya banyak berpaku pemakaian energi hijau, kini energi fosil perlahan mulai kembali mendapat tempat.
"Di awal-awal hampir seluruh dunia berbicara tentang green energy. Industri yang berorientasi terhadap green energy dan green industry, untuk melahirkan produk yang bersih. Tapi begitu pak Trump jadi Presiden Amerika, ubah jalur ini semua, bubar jalan," ungkapnya.
Tak hanya secara global, Bahlil menyebut keputusan Amerika Serikat di bawah pimpinan Donald Trump juga turut berpengaruh terhadap kebijakan pemerintah. Khususnya dalam pemyusunan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2034.
"Tadinya, dalam RUPTL 2025-2034, saya tidak lagi menyusun batu bara. Tapi dengan keluarnya Amerika dari komitmen Paris Agreement, ya Amerika aja keluar kok, dia yang buat. Apalagi Indonesia, dia cuman ikut-ikut ini," bebernya.
Advertisement
Bakal Ikutan Keluar Paris Agreement?
![Bakal Ikutan Keluar Paris Agreement?](https://cdn0-production-images-kly.akamaized.net/wAw4C2YzC-MIoHCb_HYjwFp_Q9w=/640x0/smart/filters:quality(75):strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/4989159/original/049340500_1730624638-IMG-20241103-WA0000.jpg)
Meskipun Amerika Serikat telah cabut dari Paris Agreement, Bahlil menekankan bahwa Indonesia tetap berkomitmen mengikuti perjanjian. Dengan catatan, pemerintah juga ingin memberikan harga energi yang terjangkau untuk masyarakat.
"Oh enggak ada. Kita masih tetap komitmen kok. Tapi, kita lihat skala prioritas untuk melihat keuangan negara, dan biaya listrik kita," kata Bahlil.
Sehingga, ia masih mempertimbangkan pemakaian pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara. Lantaran secara harga jauh lebih murah dibanding pemakaian EBT, dengan selisih Rp 5-6 triliun per 1 GW setiap tahunnya.
"Jadi Rp 5-6 triliun ini siapa yang mau nanggung? Negara? Subsidi lagi. Atau rakyat? Membebani rakyat. Saya kan harus berpikir mendahulukan kepentingan rakyat dong," sebut dia.
"Wong Amerika aja keluar dari Paris Agreement. Masa kita harus dipaksa-paksa terus," Bahlil menegaskan.
Blending dengan Energi Terbarukan
Hanya saja, Bahlil bilang, bukan berarti Indonesia bakal meninggalkan tren pemakaian EBT. Ia berpikir agar Indonesia bisa menggunakan batu bara bersih untuk sumber kelistrikan.
"Tapi kita setuju loh untuk memakai energi baru terbarukan. Dengan cara tetap PLTU, tapi kita blending dengan gas, kemudian matahari. Atau, kita sedang mendesain untuk menangkap carbon capture-nya. Sehingga batu bara ini batu bara bersih," urainya.
Ke depan, ia pun tidak melupakan komitmen untuk memensiunkan PLTU batu bara. "Pensiun dini pasti ada waktunya untuk pensiun. Sekarang kan 600 MW yang kita lakukan di Cirebon," pungkas Bahlil.