Bambang Pacul PDIP Kritisi Fadli Zon: Jangan Sok Benar Sendiri

16 June 2025, 20:00 WIB
Bambang Pacul PDIP Kritisi Fadli Zon: Jangan Sok Benar Sendiri

Ketua DPP PDI Perjuangan (PDIP), Bambang Wuryanto alias Bambang Pacul angkat bicara proyek penulisan ulang sejarah oleh Kementerian Kebudayaan (Kemenbud).

Dia menyebut kini penulisan ulang sejarah penuh dengan subjektivitas.

"Ini soal penulisan sejarah, soal penulisan sejarah, ini kan subjektivitas pasti ikut campur, 100% ikut campur subjektivitas, kan begitu," kata Bambang Pacul di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (16/6/2025).

Oleh karena itu, Pacul menyebut tak hanya pemerintah, maka PDIP juga bisa menulis sejarah sendiri.

"Jadi siapapun yang akan menulis pasti akan ada kontranya. Terhadap penulisan sejarah ini gimana Pak Pacul? yang diinisiasi oleh Pak Menteri Kebudayaan, Fadli Zon ini gimana sikap PDI Perjuangan? PDI perjuangan juga akan menulis sejarah," tegasnya.

Terkait pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyebut pemerkosan massal terhadap etnis China pada Mei 1998 tidak terbukti, Pacul meminta Fadli Zon membaca pernyataan Presiden ke-3 RI BJ Habibie.

Ia menyebut sejarah versi Fadli tentu dapat ditabrakkan dengan fakta yang lebih akurat.

"Bahwa subjektivitas Pak Pak Fadli Zon mau mengambil cara yang berbeda, ya dipersilahkan, nanti kan ditabrakkan dengan ayat fakta, kita kan susah hari ini kalau kita hanya ngotot-ngototan tok, kan gitu loh," kata dia.

"Jadi jangan sok benar sendiri," sambungnya.

Fadli Zon Jawab Soal Perkosaan Massal pada Kerusuhan 13-14 Mei 1998

Menteri Kebudayaan (Menbud) Fadli Zon menyampaikan apresiasi kepada publik yang semakin menunjukkan kepedulian terhadap sejarah, termasuk masa transisi reformasi pada Mei 1998. Ia menilai, peristiwa kerusuhan 13--14 Mei 1998 masih menyisakan berbagai perdebatan dan sudut pandang, salah satunya terkait isu perkosaan massal yang hingga kini belum memiliki pijakan fakta yang kuat.

Demikian pula, kata Fadli, laporan TGPF ketika itu hanya menyebut angka tanpa data pendukung yang solid baik nama, waktu, peristiwa, tempat kejadian atau pelaku. Karena itu, Fadli menekankan pentingnya kehati-hatian dan ketelitian dalam menyikapi isu-isu tersebut, mengingat hal itu menyangkut kebenaran dan nama baik bangsa.

"Saya tentu mengutuk dan mengecam keras berbagai bentuk perundungan dan kekerasan seksual pada perempuan yang terjadi pada masa lalu dan bahkan masih terjadi hingga kini. Apa yang saya sampaikan tidak menegasikan berbagai kerugian atau pun menihilkan penderitaan korban yang terjadi dalam konteks huru hara 13-14 Mei 1998." ungkap Fadli Zon dalam keterangan diterima, Senin (16/6/2025).

Bukan Menyangkal

"Sebaliknya, segala bentuk kekerasan dan perundungan seksual terhadap perempuan adalah pelanggaran terhadap nilai kemanusiaan paling mendasar, dan harus menjadi perhatian serius setiap pemangku kepentingan." tegas Fadli.

Pernyataan Fadli dalam sebuah wawancara publik menyoroti secara spesifik perlunya ketelitian dan kerangka kehati-hatian akademik dalam penggunaan istilah "perkosaan massal," yang dapat memiliki implikasi serius terhadap karakter kolektif bangsa dan membutuhkan verifikasi berbasis fakta yang kuat.

Pernyataan tersebut bukan dalam rangka menyangkal keberadaan kekerasan seksual, melainkan menekankan bahwa sejarah perlu bersandar pada fakta-fakta hukum dan bukti yang telah diuji secara akademik dan legal.

Berpegang Pada Bukti

"Penting untuk senantiasa berpegang pada bukti yang teruji secara hukum dan akademik, sebagaimana lazim dalam praktik historiografi. Apalagi menyangkut angka dan istilah yang masih problematik," imbuhnya.

Istilah 'massal', menurutnya juga telah menjadi pokok perdebatan di kalangan akademik dan masyarakat selama lebih dari dua dekade, sehingga sensitivitas seputar terminologi tersebut harus dikelola dengan bijak dan empatik. "Berbagai tindak kejahatan terjadi di tengah kerusuhan 13-14 Mei 1998, termasuk kekerasan seksual. Namun terkait 'perkosaan massal' perlu kehati-hatian karena data peristiwa itu tak pernah konklusif." ucap dia.

Menanggapi kekhawatiran terkait penghilangan narasi perempuan dalam buku Sejarah Indonesia, Fadli menyampaikan bahwa tuduhan tersebut tidak benar. Justru sebaliknya, salah satu semangat utama penulisan buku ini adalah memperkuat dan menegaskan pengakuan terhadap peran dan kontribusi perempuan dalam sejarah perjuangan bangsa.

Sumber : Liputan6.com