PDIP Kritik Fadli Zon: Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah
16 June 2025, 14:29 WIB:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/4112234/original/067345000_1659540708-Anggota_Komisi_X_DPR_RI_Andreas_Hugo_Pareira.jpg)
Politikus PDI Perjuangan (PDIP) Andreas Hugo Pareira, mengkritik pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyebut tidak ada bukti dalam pemerkosaan massal Mei 1998.
Dia meminta pejabat jangan sekali-kali melupakan sejarah.
"Polemik soal penulisan sejarah yang faktual dan objektif penting untuk menjadi pelajaran bangsa ini untuk belajar dari sejarah. Jas merah, jangan sekali-kali melupakan sejarah, begitu kata Bung Karno," kata Andreas kepada wartawan, Senin (16/6/2025).
Andreas mengingatkan setiap peristiwa sejarah tak boleh untuk dimanipulasi atau ditutup-tutupi. Ia menyebut penulisan sejarah harus tetap objektif.
"Forgive but not forget, kata Nelson Mandela. Kalimat-kalimat yang dikemukakan tokoh-tokoh dunia tersebut tentang peristiwa masa lalu, pahit sekalipun menunjukan bahwa pentingnya penulisan sejarah yang benar dan objektif untuk menjadi pelajaran bagi bangsa," ujar Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI ini.
"Memanipulasi, menutup-nutupi peristiwa sejarah hari ini sama saja dengan membohongi diri, membohongi bangsa," tambahnya.
Advertisement
Fakta Sejarah Jangan Ditutupi
Menurut Andreas, peristiwa pemerkosaan kejam itu telah banyak terekam oleh media dan saksi sejarah.
Oleh karena itu ia mengingatkan bahwa fakta sejarah jangan ditutupi.
"Karena tokoh peristiwa-peristiwa tersebut terekam oleh berbagai media dan saksi sejarah. Tidak ada manfaatnya kalau buku sejarah ditulis untuk membangun persatuan tetapi menutupi fakta sejarah yang penting. Karena justru ini akan menimbulkan kecurigaan dan luka yang tidak terobati dan akan membusuk dalam perjalanan waktu," ungkapnya
Advertisement
Fadli Zon Jawab Soal Perkosaan Massal pada Kerusuhan 13-14 Mei 1998
Menteri Kebudayaan (Menbud) Fadli Zon menyampaikan apresiasi kepada publik yang semakin menunjukkan kepedulian terhadap sejarah, termasuk masa transisi reformasi pada Mei 1998. Ia menilai, peristiwa kerusuhan 13--14 Mei 1998 masih menyisakan berbagai perdebatan dan sudut pandang, salah satunya terkait isu perkosaan massal yang hingga kini belum memiliki pijakan fakta yang kuat.
Demikian pula, kata Fadli, laporan TGPF ketika itu hanya menyebut angka tanpa data pendukung yang solid baik nama, waktu, peristiwa, tempat kejadian atau pelaku. Karena itu, Fadli menekankan pentingnya kehati-hatian dan ketelitian dalam menyikapi isu-isu tersebut, mengingat hal itu menyangkut kebenaran dan nama baik bangsa.
"Saya tentu mengutuk dan mengecam keras berbagai bentuk perundungan dan kekerasan seksual pada perempuan yang terjadi pada masa lalu dan bahkan masih terjadi hingga kini. Apa yang saya sampaikan tidak menegasikan berbagai kerugian atau pun menihilkan penderitaan korban yang terjadi dalam konteks huru hara 13-14 Mei 1998." ungkap Fadli Zon dalam keterangan diterima, Senin (16/6/2025).
Tak Menyangkal
"Sebaliknya, segala bentuk kekerasan dan perundungan seksual terhadap perempuan adalah pelanggaran terhadap nilai kemanusiaan paling mendasar, dan harus menjadi perhatian serius setiap pemangku kepentingan." tegas Fadli.
Pernyataan Fadli dalam sebuah wawancara publik menyoroti secara spesifik perlunya ketelitian dan kerangka kehati-hatian akademik dalam penggunaan istilah "perkosaan massal," yang dapat memiliki implikasi serius terhadap karakter kolektif bangsa dan membutuhkan verifikasi berbasis fakta yang kuat.
Pernyataan tersebut bukan dalam rangka menyangkal keberadaan kekerasan seksual, melainkan menekankan bahwa sejarah perlu bersandar pada fakta-fakta hukum dan bukti yang telah diuji secara akademik dan legal.
"Penting untuk senantiasa berpegang pada bukti yang teruji secara hukum dan akademik, sebagaimana lazim dalam praktik historiografi. Apalagi menyangkut angka dan istilah yang masih problematik," imbuhnya.
Istilah 'massal', menurutnya juga telah menjadi pokok perdebatan di kalangan akademik dan masyarakat selama lebih dari dua dekade, sehingga sensitivitas seputar terminologi tersebut harus dikelola dengan bijak dan empatik. "Berbagai tindak kejahatan terjadi di tengah kerusuhan 13-14 Mei 1998, termasuk kekerasan seksual. Namun terkait 'perkosaan massal' perlu kehati-hatian karena data peristiwa itu tak pernah konklusif." ucap dia.