Media Sosial: Antara Panggung Kebebasan dan Ladang Disinformasi
12 June 2025, 11:00 WIB:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/5033445/original/029989800_1733209830-A_realistic_illustration_of_a_young_person_holding.jpg)
Indonesia menjadi salah satu pengguna media sosial terbanyak di dunia. Menurut data yang dirilis We Are Social per Januari 2025 mencapai 143 juta identitas pengguna.
Namun tingginya pengguna media sosial juga dibarengi dengan maraknya hoaks. Kementerian Komunikasi dan Digital pada Januari lalu meriis data bahwa ada 1.923 konten hoaks diidentifikasi sepanjang tahun 2024.
Tentu jumlah hoaks yang beredar itu akan lebih banyak mengingat peredaran hoaks juga menyasar pada aplikasi percakapan yang lebih pribadi.
Komdigi menjelaskan bahwa hoaks terkait dengan isu politik menjadi salah satu yang terbanyak yakni 237 isu. Maraknya hoaks terkait politik tidak lepas dari Pemilu dan Pilkada yang digelar tahun lalu.
Di sisi lain, media sosial juga memegang peranan dalam proses demokrasi di tanah air, salah satunya yang terkait dengan Pemilu. Sejak Pemilu tahun 2014 penggunaan media sosial untuk seluruh tahapan pemilu mulai masif.
"Dalam konteks pemilu kehadiran media sosial memiliki dampak terhadap pergeseran ruang kontestasi dari ranah konvensional ke ranah digital. Sebagai negara yang dengan jumlah pengguna media sosial yang signifikan dan adanya dominasi demografi pemilih muda, media sosial dijadikan instrumen utama bagi kontestan pemilu untuk berkampanye dalam rangka meraih suara terbanyak," ujar Peneliti Perludem, Heroik M Pratama saat dihubungi Tim Cek Fakta Liputan6.com.
"Pada sisi lain, media sosial juga dijadikan instrumen untuk melakukan pendidikan pemilih dan pengawasan terhadap jalannya penyelenggara pemilu," ujarnya menambahkan.
Meski demikian Heroik tak menampik penggunaan media sosial juga mempunyai dampak negatif dalam proses pemilu. Bahkan tak sedikit kasus negatif dalam Pemilu dimulai dari media sosial.
"Permasalahannya, dalam konteks pemilu dampak negatif yang muncul dari penggunaan media sosial adalah hadirnya disinformasi atau hoaks yang dimanfaatkan untuk mengubah persepsi pemilih demi kepentingan elektoral.
Selain itu, masifnya kampanye di media sosial tidak sebanding dengan transparansi pengeluaran dana kampanye dalam beriklan di media sosial yang dilakukan oleh peserta pemilu. Sekalipun terdapat institusi yang bertugas untuk melakukan pengawasan pemilu, faktanya Bawaslu tidak cukup mampu menangani," ujarnya menambahkan.
Di sisi lain Heroik menjelaskan media sosial memiliki peranan signifikan dalam sistem politik demokrasi, utamanya dalam menghadirkan partisipasi, representasi, dan transparansi yang menjadi dua prinsip dasar demokrasi.
Ia juga menambahkan media sosial hari ini menjadi saluran alternatif utama bagi partisipasi politik publik terhadap jalannya tata kelola pemerintahan, utamanya dalam menyampaikan aspirasinya mengenai kebijakan publik yang sedang dibuat atau sudah berjalan.
"Media sosial juga menjadi instrumen representasi untuk mendekatkan hubungan antara warga negara dengan wakil rakyatnya, melalui ruang komunikasi deliberatif yang dihadirkan oleh media sosial," ujar Heroik.
Hal senada juga disampaikan oleh Manajer Program ICT Watch, Defira Novianti Crisandy. ICT Watch sendiri adalah organisasi masyarakat sipil yang bergerak dalam sejumlah inisiatif peningkatan literasi digital, pemanfaatan kecerdasan artifisial (AI) dan pengembangan teknologi baru lainnya di Indonesia.
"Media sosial sekarang seperti CCTV demokrasi yang tersebar di mana-mana. Semua orang bisa melihat, merekam, dan mengomentari apa yang terjadi. Sisi baiknya, pejabat publik jadi lebih berhati-hati dalam bertindak, dan rakyat jadi lebih berani bersuara, menuntut keadilan, atau mengkritik kebijakan," ujar Fira, sapaan akrabnya saat dihubungi Tim Cek Fakta Liputan6.com.
"Namun, perlu diingat, CCTV juga bisa dimatikan, dibajak, atau dijadikan alat propaganda. Medsos rawan digunakan untuk menggiring opini secara tidak sehat, misalnya lewat buzzer politik yang menyebarkan narasi pesanan. Jadi, meski media sosial bisa jadi alat kontrol yang sehat bagi demokrasi, ia juga bisa jadi alat manipulasi jika tidak disertai dengan kecerdasan digital dan etika bermedsos," ujarnya menambahkan.
Advertisement
Sisi Positif Media Sosial
:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/2847380/original/013432000_1562572208-1.jpg)
Defira menjelaskan media sosial tak melulu terkait menghadirkan efek negatif ke masyarakat. Sejumlah inisiatif gerakan sosial juga dimulai dari media sosial.
"Media sosial itu ibarat jalan tol super cepat, di mana semua orang bisa terhubung dalam hitungan detik. Dalam konteks gerakan sosial, medsos menjadi kendaraan utama untuk menyampaikan pesan, mengajak orang banyak membantu, dan menyebarkan semangat positif. Misalnya, saat pandemi COVID-19, medsos berperan besar dalam kampanye donasi oksigen dan bantuan logistik melalui gerakan #OksigenUntukIndonesia. Atau saat krisis listrik di berbagai wilayah, kampanye seperti #IndonesiaGelap juga ramai diangkat lewat medsos dan memicu respons publik maupun pejabat," ujarnya.
Ia menambahkan media sosial mampu menjadi corong suara massal yang bisa menjangkau orang dalam jumlah yang besar dalam waktu singkat.
"Algoritma media sosial yang mendukung penyebaran konten viral. Kalau pesan yang disebar punya daya sentuh emosional atau visual yang kuat, dalam hitungan jam bisa menjangkau jutaan orang. Jadi tinggal bagaimana kita memanfaatkannya mau untuk kebaikan atau sebaliknya," ucapnya.
Menurut data yang dirilis dari Komdigi, Indeks literasi digital Indonesia pun menunjukkan peningkatan, dengan skor nasional 3,78 dari skala 5 pada tahun 2024. Meski mengalami peningkatan dari tahun 2022 namun masih banyak yang harus dikerjakan agar masyarakat lebih memahami tentang literasi digital.
"Edukasi digital harus terus digencarkan. Pemerintah perlu mengambil peran konkret, tidak hanya lewat regulasi, tapi juga dengan memasukkan literasi digital ke dalam kurikulum pendidikan nasional sebagai solusi jangka panjang. Di sisi lain, komunitas-komunitas bisa menjadi motor penggerak edukasi di lapangan, dan para kreator konten bisa membantu menyebarkan nilai-nilai positif lewat cara yang menarik di platform medsos.
Kolaborasi ini harus lintas sektor: pemerintah, sekolah, media, dan masyarakat sipil, semua punya peran penting untuk memastikan masyarakat tidak hanya jadi pengguna, tapi juga pengguna yang cerdas dan bertanggung jawab," tutur Defira.
Salah satu yang menjadi masalah dari penggunaan media sosial adalah terkait hoaks atau disinformasi. Sejumlah langkah sudah dilakukan semua pihak untuk meminimalisir masalah ini.
"Memerangi hoaks bukan kerja satu pihak, tapi kerja kolektif. Pemerintah bisa berperan sebagai "petugas kebersihan" dengan kebijakan yang mendorong ruang digital yang sehat, tapi platform digital juga harus terus memperkuat sistem moderasi konten dan bekerja sama dengan organisasi masyarakat sipil untuk memperluas jangkauan edukasi literasi digital," ujar Defira.
Ke depan baik ICT Watch dan Perludem berharap media sosial terus menjadi pengawas demokrasi di Indonesia.
"Banyaknya protes publik di media sosial seharusnya dimaknai oleh pemerintah sebagai bentuk jaring aspirasi yang dilakukan oleh pemerintah dalam menjalankan peran representasinya. Sehingga kebijakan yang dihasilkan bisa sesuai dengan kehendak publik yang tercermin di media sosial," ucap Heroik.
"Tentunya, kita semua perlu menjadi pengguna media sosial yang lebih bertanggung jawab. Semakin banyak orang yang sadar pentingnya verifikasi dan berpikir kritis, semakin bersih juga ekosistem digital kita," Defira menimpali.
Advertisement