Perang Dagang AS-China Mereda, Ini Untung Ruginya Buat Indonesia
13 May 2025, 15:30 WIB:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/2378260/original/043496800_1539056307-bendera_china_as.jpg)
Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira, menilai meredanya ketegangan dalam perang dagang antara Amerika Serikat dan China membawa angin segar sekaligus tantangan bagi perekonomian Indonesia.
"Meredanya perang dagang AS-China memberikan sentimen positif sekaligus tantangan bagi ekonomi Indonesia," kata Bhima kepada Liputan6.com, Selasa (13/5/2025).
Di satu sisi, kondisi ini menciptakan sentimen positif yang mendorong pemulihan harga komoditas ekspor unggulan Indonesia. Meningkatnya permintaan industri di China diperkirakan akan menopang kinerja ekspor nasional secara keseluruhan.
"Harga komoditas unggulan ekspor Indonesia diperkirakan berlangsung pulih sejalan dengan meningkatnya permintaan industri di China, menopang kinerja ekspor Indonesia secara umum," ujarnya.
Kata Bhima, stabilitas nilai tukar rupiah juga mendapat manfaat dari kondisi global ini. Pelemahan rupiah yang cenderung tertahan membantu menekan laju inflasi impor, karena harga barang-barang impor tidak mengalami kenaikan tajam.
Selain itu, cadangan devisa Indonesia relatif tidak terlalu banyak terkuras karena intervensi terhadap nilai tukar dapat ditekan.
"Pelemahan kurs rupiah cenderung tertahan, membuat efek imported inflation atau meningkatnya harga barang impor bisa lebih kecil. Cadangan devisa juga tidak terlalu banyak terkuras untuk intervensi rupiah," ujarnya.
Advertisement
Daya Saing Produk Ekspor RI Terancam
:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/3617284/original/010929700_1635503741-20211029-Neraca-perdagangan-RI-alamai-surplus-ANGGA-1.jpg)
Namun demikian, tantangan serius muncul dari sisi daya saing produk ekspor Indonesia di pasar Amerika Serikat. Rendahnya tarif ekspor China ke AS dibandingkan Indonesia berpotensi menurunkan daya saing sejumlah produk nasional, seperti tekstil, alas kaki, dan pakaian jadi.
Dalam situasi ini, posisi Indonesia cenderung terbatas hanya sebagai penyedia bahan mentah dan barang setengah jadi, sementara produk hilir lebih dikuasai oleh China.
"Tapi dampak rendahnya tarif China dibandingkan Indonesia ke pasar AS akan menurunkan daya saing ekspor Indonesia. Produk asal Indonesia seperti tekstil, alas kaki dan pakaian jadi bisa direbut oleh China. Sementara Indonesia hanya diuntungkan dari sisi permintaan bahan baku mentah dan barang setengah jadi," ungkapnya.
Advertisement
PHK Sektor Padat Karya
:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/4729966/original/074920500_1706586460-taro-ohtani-5T5zmIqs0AM-unsplash.jpg)
Adapun risiko lanjutan dari kondisi ini adalah potensi pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor-sektor padat karya. Jika beban tarif terhadap Indonesia tetap tinggi, relokasi industri dari Indonesia kembali ke China menjadi semakin besar kemungkinannya. Arus investasi dari negara-negara seperti AS dan Eropa pun berisiko lebih mengalir ke China daripada ke Indonesia.
"Dampak PHK di sektor padat karya akan bergantung seberapa kecil tarif yang akan dibebankan ke Indonesia. Jika tarif ekspor China ke AS lebih rendah, yang terjadi adalah relokasi industri dari Indonesia kembali ke China," ujarnya.
Selain itu, tekanan terhadap investasi domestik sudah mulai terlihat dari data ekonomi terbaru. Pada kuartal pertama 2025, Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) tercatat mengalami kontraksi sebesar 7,4 persen secara kuartalan, mencerminkan penurunan signifikan dalam realisasi investasi.
"Investasi dari AS dan negara eropa justru masif ke China dibanding negara alternatif lainnya termasuk ke Indonesia. Realisasi investasi Indonesia makin tertekan setelah Q1 2025 PMTB tercatat kontraksi -7,4% (q to q) dibanding kuartal sebelumnya," pungkasnya.
:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/3189686/original/097919600_1595595418-Infografis_AS_dan_China_terancam_perang_dingin.jpg)