10 Manifestasi Trauma Masa Kecil dalam Kehidupan Dewasa, Luka yang Membentuk Diri

12 April 2025, 15:00 WIB
10 Manifestasi Trauma Masa Kecil dalam Kehidupan Dewasa, Luka yang Membentuk Diri

Pernahkah Anda merasa sulit mengelola emosi, terus-menerus merasa tidak cukup baik, atau merasa harus selalu menyenangkan orang lain agar diterima? Mungkin Anda mengira itu hanya bagian dari kepribadian, padahal bisa jadi itu adalah jejak luka yang tertinggal dari masa kecil yang belum benar-benar sembuh. Banyak dari kita tidak menyadari bahwa pola-pola perilaku negatif yang terbentuk saat dewasa sering kali merupakan manifestasi dari trauma masa kecil yang tidak pernah benar-benar diakui, apalagi disembuhkan.

Trauma masa kecil bukan sekadar kenangan pahit yang bisa dikubur dalam-dalam. Ia adalah respons emosional terhadap pengalaman menyakitkan yang terjadi di usia dini, mulai dari kekerasan fisik, emosional, atau seksual, pengabaian, kehilangan, hingga tumbuh dalam lingkungan yang penuh konflik atau ketidakstabilan. Dan karena masa kanak-kanak adalah fondasi bagi perkembangan mental dan emosional, luka yang terjadi di tahap ini bisa meninggalkan bekas mendalam dalam sistem saraf dan kepribadian seseorang.

Berbeda dengan PTSD yang biasanya muncul akibat satu peristiwa traumatis, trauma masa kecil yang berlangsung terus-menerus dapat berkembang menjadi Kompleks PTSD (C-PTSD). Kondisi ini jauh lebih rumit, karena mencakup gangguan emosi kronis, kesulitan dalam membangun kepercayaan dan relasi, hingga perasaan rendah diri yang menetap. Berikut ini adalah 10 bentuk manifestasi trauma masa kecil yang sering kali tidak disadari, dirangkum Liputan6.com dari laman themindsjournal.com, Sabtu (12/4/2025).

1. Keterikatan yang Tidak Sehat (Unhealthy Attachments)

Orang dewasa dengan trauma masa kecil sering kali mengalami kesulitan membentuk hubungan yang sehat dan seimbang. Mereka cenderung memiliki gaya keterikatan yang disfungsional: avoidant (menghindar) atau anxious (cemas).

Gaya keterikatan avoidant muncul ketika seseorang merasa tidak nyaman dengan kedekatan emosional. Mereka mungkin tampak dingin, sulit mengekspresikan perasaan, dan menjaga jarak dalam hubungan. Ini sering berasal dari pengalaman masa kecil di mana kebutuhan emosional mereka tidak terpenuhi, atau ketika menunjukkan emosi justru mengundang penolakan.

Sebaliknya, gaya keterikatan anxious ditandai dengan rasa takut berlebihan terhadap penolakan atau ditinggalkan. Orang dengan pola ini cenderung terlalu bergantung pada pasangannya, mudah merasa cemas, dan merasa harus terus-menerus memastikan bahwa mereka dicintai.

2. Terlalu Mandiri atau Terlalu Bergantung pada Orang Lain

Trauma masa kecil bisa membuat seseorang menarik dua ekstrem dalam hal ketergantungan: terlalu mandiri hingga menolak bantuan, atau sangat tergantung pada orang lain untuk validasi.

Seseorang yang dibesarkan dalam lingkungan penuh pengabaian atau ketidakpastian mungkin belajar bahwa satu-satunya orang yang bisa diandalkan adalah dirinya sendiri. Mereka tumbuh menjadi orang dewasa yang sulit mempercayai orang lain, bahkan saat membutuhkan bantuan. Di sisi lain, mereka yang tumbuh dalam lingkungan kontrol berlebihan mungkin tidak diberi kesempatan untuk membentuk identitas diri. Akibatnya, mereka tidak percaya pada kemampuan mereka sendiri, dan selalu mencari pengesahan atau persetujuan dari orang lain untuk setiap keputusan.

3. Kesulitan Mengelola Emosi

Mereka yang mengalami trauma masa kecil sering kali tidak memiliki alat atau keterampilan emosional untuk mengelola perasaan yang kompleks. Sebagai anak, mungkin mereka diajari bahwa marah itu buruk, atau bahwa menangis adalah tanda kelemahan. Emosi-emosi ini ditekan, bukan diproses.

Saat dewasa, represi tersebut muncul sebagai ledakan emosi (meluap tanpa kendali), atau sebaliknya, mati rasa emosional (tidak bisa merasakan apa pun, bahkan terhadap peristiwa penting). Reaksi-reaksi ini bukan bentuk kelemahan, tetapi hasil dari pola bertahan hidup yang dipelajari sejak kecil.

4. Kehilangan Kontrol Diri (Impulse Control Problems)

Sebagian orang dewasa dengan trauma masa kecil menunjukkan kesulitan dalam menahan dorongan atau emosi. Hal ini berkaitan dengan bagaimana sistem saraf mereka terbentuk di bawah tekanan konstan saat kecil. Otak mereka menjadi terlalu waspada terhadap ancaman, sehingga mudah terpicu.

Akibatnya, mereka mungkin membuat keputusan terburu-buru, melampiaskan kemarahan tanpa pikir panjang, atau melakukan tindakan impulsif yang kemudian disesali. Dalam beberapa kasus, masalah ini juga muncul dalam bentuk kecanduan, belanja berlebihan, atau pola makan tidak sehat.

5. Perfeksionisme

Perfeksionisme sering kali disalahartikan sebagai sifat positif. Namun, bagi banyak orang yang mengalami trauma masa kecil, perfeksionisme bukan tentang standar tinggi, melainkan rasa takut yang mendalam terhadap kegagalan.

Anak-anak yang selalu dikritik atau merasa tidak pernah cukup baik bisa tumbuh menjadi orang dewasa yang menghubungkan keberhargaan diri dengan pencapaian. Mereka merasa tidak berhak santai atau melakukan kesalahan. Ini bisa menyebabkan kelelahan mental, burnout, hingga kecemasan berlebih.

6. Overthinking dan Over-Explaining

Overthinking atau terlalu banyak berpikir biasanya muncul dari kebutuhan akan kendali, sebuah mekanisme bertahan hidup yang terbentuk saat anak menghadapi lingkungan yang tidak stabil.

Mereka terbiasa menganalisis segala sesuatu secara berlebihan karena dulu harus membaca situasi untuk bertahan. Sementara over-explaining adalah upaya untuk mencegah konflik. Mereka mungkin menjelaskan alasan mereka dalam setiap keputusan, meminta maaf bahkan saat tidak bersalah, atau merasa cemas bahwa mereka telah menyakiti orang lain tanpa sengaja.

7. Sindrom Impostor (Imposter Syndrome)

Orang yang mengalami trauma masa kecil sering memiliki pandangan negatif terhadap diri sendiri. Mereka tumbuh dengan keyakinan bahwa mereka tidak cukup pintar, baik, atau layak dicintai. Ketika mereka berhasil mereka merasa tak layak, seolah-olah keberhasilan itu hanyalah keberuntungan, bukan hasil kemampuan mereka.

Sindrom ini menyebabkan kecemasan yang terus-menerus, rasa tidak aman, dan takut ketahuan bahwa mereka "tidak cukup baik." Dalam jangka panjang, ini bisa menghambat potensi dan merusak harga diri.

8. Perilaku People-Pleasing

Salah satu strategi bertahan hidup anak dalam lingkungan yang penuh tekanan adalah dengan mencoba membuat semua orang senang. Ini adalah cara untuk menghindari amarah, konflik, atau penolakan dari orang tua yang tidak stabil emosinya.

Ketika dewasa, pola ini bisa membuat seseorang kesulitan mengatakan "tidak," merasa bertanggung jawab atas perasaan orang lain, dan memprioritaskan kebutuhan orang lain di atas dirinya sendiri. Meski terlihat seperti empati, perilaku ini sering kali berasal dari rasa takut ditolak atau ditinggalkan.

9. Kesulitan Untuk Santai

Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan yang tidak aman, baik karena kekerasan, pertengkaran orang tua, atau tekanan tinggi, belajar bahwa dunia adalah tempat yang penuh ancaman. Sistem saraf mereka selalu dalam kondisi siaga tinggi (hypervigilance).

Ketika dewasa, mereka merasa sulit untuk rileks bahkan dalam situasi aman. Mereka mungkin merasa bersalah saat beristirahat, selalu merasa harus "produktif," atau merasa cemas tanpa alasan yang jelas. Ini adalah gejala dari tubuh yang terbiasa hidup dalam mode bertahan.

10. Keluhan Fisik yang Tidak Dapat Dijelaskan

Trauma emosional yang tidak terselesaikan sering kali termanifestasi dalam tubuh. Ini dikenal sebagai somatisasi, di mana stres emosional menyebabkan gejala fisik seperti nyeri kronis, sakit kepala, gangguan pencernaan, kelelahan, atau masalah tidur.

Karena penyebabnya bukan organik, banyak orang tidak menyadari bahwa tubuh mereka sebenarnya sedang berteriak karena luka psikologis yang tak terungkap. Sayangnya, dalam budaya yang masih tabu terhadap kesehatan mental, keluhan seperti ini sering dianggap remeh.

Mengakui Bukan Berarti Menyalahkan

Mengakui Bukan Berarti Menyalahkan

Memahami bahwa perilaku-perilaku ini berasal dari trauma masa kecil bukan berarti kita menyalahkan masa lalu atau orang tua. Ini adalah langkah awal untuk memahami diri, memutus siklus, dan mulai menyembuhkan.

Dengan bantuan profesional, kesadaran diri, dan keberanian untuk menyentuh luka lama, seseorang bisa belajar membentuk ulang hidupnya. Masa lalu mungkin membentuk kita, tapi tidak harus menentukan masa depan kita.

Sumber : Liputan6.com