Kenalan dengan Muhammad Nurdin Kamil, Ustaz Tunanetra yang Jadi Imam Tarawih di Masjid Gus Dur
26 March 2025, 15:00 WIB:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/2216208/original/055055100_1526483407-20180516-Tarawih-Istiqlal-2.jpg)
Kemampuan penyandang disabilitas netra dalam menghafal Al-Quran bisa melampaui kebanyakan orang non disabilitas.
Hal ini dibuktikan oleh Muhammad Nurdin Kamil, ia adalah ustaz tunanetra penghafal Quran dari Sukabumi yang beberapa tahun lalu menjadi imam shalat tarawih di Masjid Gus Dur. Di Ramadan kali ini, ia kembali mengimami salat tarawih, tepatnya pada malam ke-22 dengan bacaan juz 22.
Tarawih dilaksanakan di Masjid Al-Munawwaroh, kompleks kediaman KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Jalan Warung Sila, Ciganjur, Jagakarsa, Jakarta Selatan.
Pria usia 45 itu adalah lulusan Pesantren Al-Anwar, Desa Goa Kidul, Kecamatan Kaliwedi, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Ia telah menghafal Al-Quran 30 juz sejak usia 26 tahun. Ia mondok di pesantren yang diasuh KH Anwar Maksum, kakak sepupu KH Said Aqil Siroj, sejak 2001 hingga 2006.
"Ketika mondok di Cirebon, saya setoran hafalan langsung ke Kiai Anwar, satu maqra'. Saya menghafal Al-Quran menggunakan mushaf Braille yang saya dapat dari Jogja. Waktu itu sulit mencari Al-Quran Braille," ujarnya usai mengimami tarawih pada malam ke-22 Ramadhan di Masjid Gus Dur, Jumat (21/3/2025), mengutip NU Online.
Advertisement
Belajar Baca Al-Quran Sejak Kecil
:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/5174619/original/014490800_1742956005-Screenshot_2025-03-26_092409.jpg)
Pria asal Kampung Bojong Pari, Desa Jaya Bakti, Kecamatan Cidahu, Kabupaten Sukabumi ini bercerita bahwa sejak kecil ia belajar membaca Al-Quran Braille di Yayasan Pesantren Al-Muawanah, Sukabumi, Jawa Barat.
Setahun kemudian, Nurdin pindah mondok ke Bandung. Ia mengaku awalnya tertarik belajar kitab kuning, tetapi keinginannya itu kandas karena saat itu belum ada kitab kuning dalam tulisan Braille.
"Al-Quran saja, satu juz itu besar sekali. Jadi wajar kalau sulit ditemukan kitab kuning dalam tulisan Braille. Pak Kiai akhirnya menyarankan saya untuk menghafal Al-Quran saja," kenang Nurdin.
"Saya tidak langsung ke Cirebon, tetapi mondok di Bandung dulu, di Al-Syifa', khusus belajar Ilmu Qiraat dan Tajwid. Cuma, waktu itu suara saya kurang memadai. Akhirnya, kiai menyuruh saya fokus menghafal saja," lanjutnya.
Advertisement
Awali dengan Belajar Baca Huruf Braille
Nurdin kemudian mengikuti petunjuk kiainya di Bandung untuk melanjutkan hafalan di Cirebon.
"Saat saya setoran, Kiai Anwar biasa saja, seperti santri lainnya. Apalagi saya sudah memiliki bekal tajwid yang bagus, jadi langsung menghafal," ujarnya bersyukur.
Menurutnya, jika ada anak tunanetra yang ingin menghafal Al-Quran, ia menyarankan agar mereka belajar Braille terlebih dahulu di Sekolah Luar Biasa (SLB).
"Memang ada metode dengan dituntun sampai bisa membaca, tetapi kiai juga sibuk, dan teman-teman tidak selalu punya waktu luang," tuturnya.
Manfaatkan Momen Ramadan untuk Perbanyak Tadarus
Nurdin bersyukur karena Allah memberinya kemampuan menghafal Al-Quran. Ia berharap, anak-anak penyandang tunanetra terus berlomba dalam kebaikan dan tidak kalah dengan yang lain.
"Jangan sampai tertinggal dari anak-anak non disabilitas. Sekarang sudah ada sekolahnya. Banyak tunanetra yang pintar, bahkan ada yang menjadi dosen. Tapi tantangannya ada pada orangtua."
"Setelah anak dilepas, banyak yang takut ini dan itu. Harus benar-benar tega demi kemajuan anak," saran Nurdin.
Dia berpesan kepada para jamaah, khususnya di Masjid Gus Dur, agar rajin bertadarus dan murajaah Al-Quran, apalagi bulan Ramadhan tinggal beberapa hari lagi.
"Mari terus mencintai Al-Quran dan membacanya sebanyak mungkin," pungkasnya.
:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/2984057/original/044115000_1575280009-Infografis_Akses_dan_Fasilitas_Umum_Ramah_Penyandang_Disabilitas.jpg)