Konsekuensi Telat Qadha Puasa hingga Ramadhan Tiba, Apa Bisa Diganti Fidyah?

25 February 2025, 02:00 WIB
Konsekuensi Telat Qadha Puasa hingga Ramadhan Tiba, Apa Bisa Diganti Fidyah?

Puasa SWT wajib bagi umat Islam, baik laki-laki maupun perempuan. Namun begitu, ada keringanan puasa Ramadhan bagi yang udzur karena berbagai penyebab.

Udzur puasa Ramadhan tersebut diatur dengan jelas. Secara syariat ada beberapa kondisi yang menyebabkan seseorang diperbolehkan membatalkan puasa atau tidak berpuasa.

Di antaranya, wanita hamil, ibu menyusui, orang sakit dan orang dalam perjalanan. Dalam praktiknya, ada pula pekerja berat yang mengandalkan fisik.

Sementara, ada pula yang tidak puasa Ramadan karena diharamkan. Contohnya, wanita haid dan nifas.

Meski begitu utang puasa tersebut harus dibayar. Batasan qadha puasa adalah sebelum Ramadhan berikutnya tiba.

Lantas, apa hukum telat membayar utang puasa hingga Ramadhan berikutnya tiba? Mari simak penjelasan berikut, sekaligus konsekuensinya.

Konsekuensi Telat Qadha Puasa Ramadhan

Konsekuensi Telat Qadha Puasa Ramadhan

Mencuplik laman Bahtsul Masail NU Online, pertanyaan yang secara esensi serupa ditanyakan oleh seorang pembaca. Bagaimana hukum telat qadha puasa, hingga Ramadhan berikutnya tiba.

Dalam penjelasannya, pengasuh laman Bahtsul Masail menjelaskan, Allah ta'ala mewajibkan puasa bagi setiap orang yang memenuhi syarat puasa. Mereka yang terlanjur membatalkan puasanya di bulan Ramadhan karena sakit dan lain hal, harus mengganti di bulan yang lain.

Adapun orang yang membatalkan puasanya demi orang lain seperti ibu menyusui atau ibu hamil; dan orang yang menunda qadha puasanya karena kelalaian hingga Ramadhan tahun berikutnya tiba mendapat beban tambahan. Keduanya diwajibkan membayar fidyah di samping mengqadha puasa yang pernah ditinggalkannya.

) ( ) . . .

Artinya, "(Kedua [yang wajib qadha dan fidyah] adalah ketiadaan puasa dengan menunda qadha) puasa Ramadhan (padahal memiliki kesempatan hingga Ramadhan berikutnya tiba) didasarkan pada hadits, 'Siapa saja mengalami Ramadhan, lalu tidak berpuasa karena sakit, kemudian sehat kembali dan belum mengqadhanya hingga Ramadhan selanjutnya tiba, maka ia harus menunaikan puasa Ramadhan yang sedang dijalaninya, setelah itu mengqadha utang puasanya dan memberikan makan kepada seorang miskin satu hari yang ditinggalkan sebagai kaffarah,' (HR Ad-Daruquthni dan Al-Baihaqi).

Di luar kategori 'memiliki kesempatan' adalah orang yang senantiasa bersafari (seperti pelaut), orang sakit hingga Ramadhan berikutnya tiba, orang yang menunda karena lupa, atau orang yang tidak tahu keharaman penundaan qadha.

Tetapi kalau ia hidup membaur dengan ulama karena samarnya masalah itu tanpa fidyah, maka ketidaktahuannya atas keharaman penundaan qadha bukan termasuk uzur. Alasan seperti ini tak bisa diterima; sama halnya dengan orang yang mengetahui keharaman berdehem (saat shalat), tetapi tidak tahu batal shalat karenanya.

Ukuran Fidyah

Ukuran Fidyah

Asal tahu, beban fidyah itu terus muncul seiring pergantian tahun dan tetap menjadi tanggungan orang yang yang berutang (sebelum dilunasi)," (Lihat Syekh M Nawawi Banten, Kasyifatus Saja ala Safinatin Naja, Surabaya, Maktabah Ahmad bin Sa'ad bin Nabhan, tanpa tahun, halaman 114).

Dari keterangan Syekh Nawawi Banten ini, kita dapat melihat apakah ketidaksempatan qadha puasa hingga Ramadhan berikutnya tiba disebabkan karena sakit, lupa, atau memang kelalaian menunda-tunda.

Kalau disebabkan karena kelalaian, tentu yang bersangkutan wajib mengqadha dan juga membayar fidyah sebesar satu mud untuk satu hari utang puasanya. Sebagaimana diketahui, satu mud setara dengan 543 gram menurut Malikiyah, Syafi'iyah, dan Hanabilah.

Sementara menurut Hanafiyah, satu mud seukuran dengan 815,39 gram bahan makanan pokok seperti beras dan gandum. Demikian jawaban yang dapat kami terangkan. Semoga jawaban ini bisa dipahami dengan baik. Kami selalu membuka kritik, saran, dan masukan.

Simak Video Pilihan Ini:

Sumber : Liputan6.com