Transplantasi Rambut, Antara Harapan Atasi Kerontokan dan Risiko Tersembunyi yang Jarang Diketahui

14 December 2025, 05:00 WIB
Transplantasi Rambut, Antara Harapan Atasi Kerontokan dan Risiko Tersembunyi yang Jarang Diketahui

Bagi banyak wanita, rambut bukan sekadar penampilan, melainkan bagian dari identitas dan kepercayaan diri. Melansir CNN, Selasa, 2 Desember 2025, hal ini dirasakan oleh Tracy Kiss, seorang binaragawan asal Inggris yang mulai mengalami kerontokan rambut parah setelah kelahiran dua anaknya di usia 25 tahun. "Saya selalu memiliki rambut yang sangat tebal," kenangnya.

Ia pun tak percaya mahkotanya tersebut berubah menjadi bisikan yang tipis. Rasa percaya diri Kiss runtuh, ia merasa kehilangan identitasnya sebagai wanita karena harus terus menutupi kebotakan dengan wig atau topi.

"Dalam foto, saya hanya akan melihat dan berpikir, 'Ya Tuhan. Ini semakin buruk dari hari ke hari," ujarnya. Kisah Kiss mencerminkan masalah yang meluas.

Saat mencari jawaban atas permasalahan kerontokan rambutnya, ia menemukan informasi tentang prosedur transplantasi rambut pada 2011 setelah meneliti pilihan perawatan untuk pacarnya saat itu yang juga sedang berjuang melawan kerontokan rambut. Mendapatkan transplantasi rambut bagi wanita tidaklah mudah.

Tracy Kiss menghabiskan 11 tahun melakukan riset dan sempat ditolak oleh dokter yang menganggap prosedur itu hanya untuk pria. "Awalnya mereka bilang tidak," kata Kiss.

Namun, kegigihannya membuahkan hasil. Pada 2022, ia terbang ke Turki untuk menanamkan 2.500 folikel rambut menggunakan teknik Follicular Unit Extraction (FUE). Ia mengaku pemulihannya cepat dan hasilnya memuaskan, memberinya kesempatan kedua.

Tren Transplantasi Rambut di Kalangan Wanita Meningkat

Tren Transplantasi Rambut di Kalangan Wanita Meningkat

Di sisi lain, Ayca Bozok, wanita berusia 32 tahun dari Jerman, mengambil keputusan yang lebih impulsif. Mengalami kerontokan genetik sejak remaja yang diperparah oleh trauma, Bozok merasa putus asa dengan rutinitas menutupi rambutnya.

Tanpa riset mendalam, ia melakukan transplantasi di Turki. Meski hasilnya memuaskan setahun pasca-operasi, Bozok tetap realistis mengingat kondisi genetiknya.

Ia menyadari bahwa hasil ini mungkin tidak bertahan selamanya. "Saya menikmatinya selama saya memilikinya," ungkap Bozok, yang kini mendokumentasikan perjalanannya di media sosial untuk berbagi pengalaman dengan wanita lain.

Kiss dan Bozok menjadi bagian dari kelompok perempuan yang menggunakan transplantasi rambut sebagai solusi kerontokan. Ahli kesehatan Harvard mencatat setidaknya sepertiga wanita mengalami kerontokan rambut selama hidup mereka, dengan androgenetic alopecia (kerontokan pola wanita) sebagai penyebab paling umum. Fenomena ini memicu lonjakan minat pada prosedur bedah.

Menurut International Society of Hair Restoration Surgery (ISHRS), jumlah wanita yang memilih transplantasi rambut meningkat lebih dari 16 persen antara 2021--2024. Meskipun transplantasi rambut masih didominasi pasien pria, semakin banyak wanita yang mencari solusi permanen demi mengembalikan rasa percaya diri mereka yang hilang.

Peringatan Ahli soal Risiko Transplantasi Rambut

Peringatan Ahli soal Risiko Transplantasi Rambut

Namun, tidak semua cerita berakhir bahagia. Dr. Greg Williams, ahli bedah plastik dan spesialis transplantasi rambut, memperingatkan bahwa wanita dengan kerontokan genetik sering kali bukan kelompok pasien yang optimal untuk transplantasi. Ia menjelaskan bahwa prosedur ini sering kali hanya membeli waktu daripada menjadi solusi jangka panjang karena kerontokan wanita dipengaruhi faktor kompleks seperti hormon dan stres.

Namun, peringatan ini sering diabaikan demi keuntungan bisnis, yang berujung pada kasus tragis seperti yang dialami Sam Evans. Evans, penderita sindrom ovarium polikistik (PCOS), menghabiskan sekitar USD 8.500 (sekitar Rp130 juta) untuk transplantasi yang ia gambarkan sebagai pengalaman menyiksa.

Kurangnya riset dan penilaian medis yang buruk membuat hasilnya fatal. Alih-alih membaik, kondisi rambutnya justru memburuk setelah operasi karena area donornya tidak cukup sehat. "Hanya pengingat terus-menerus setiap kali Anda melihat ke cermin," kata Evans dengan sedih.

Dokter bedahnya memang menyebutkan risiko kegagalan, namun Evans merasa diberi harapan palsu. Kini, ia sepenuhnya bergantung pada penggunaan wig dan bahkan telah meluncurkan merek wignya sendiri.

Cara Memilih Layanan Transplantasi Rambut yang Kredibel

Cara Memilih Layanan Transplantasi Rambut yang Kredibel

Lonjakan klinik transplantasi rambut memunculkan kekhawatiran tentang eksploitasi pasien yang rentan secara psikologis. Dr. Williams menyoroti bahwa industri ini berada di wilayah abu-abu antara layanan kesehatan dan bisnis, seringkali tidak ada inspeksi ketat.

"Anda mungkin mengambil jalan pintas dan mengoperasi orang yang Anda tahu akan lebih baik ditunda," ujarnya mengkritik dokter yang tidak etis. Selain itu, pasien seperti Bozok juga menghadapi masalah lain, video perkembangan rambutnya dicuri dan digunakan oleh bisnis penipuan untuk menjual produk rambut tanpa izin.

Di tengah risiko ini, media sosial menjadi ruang perlindungan. Bagi Kiss, Bozok, dan Evans, berbagi pengalaman secara daring telah menciptakan sistem pendukung yang kuat.

Ribuan orang menonton video mereka untuk mencari saran dan kenyamanan. Evans menemukan bahwa koneksi ini sangat memberdayakan karena menyadarkan bahwa ia tidak sendirian.

Dr. Williams menyarankan agar siapa pun yang mempertimbangkan transplantasi untuk berkonsultasi langsung dengan dokter bedah yang akan melakukan sayatan, bukan sekadar tenaga penjualan, dan memastikan dokter tersebut terakreditasi oleh lembaga seperti ISHRS demi keamanan.

Infografis Tips Perawatan Rambut di Masa Pandemi (Liputan6.com/Abdillah)
Sumber : Liputan6.com