Rencana Trump Terima Jet Mewah dari Qatar Picu Kekhawatiran Keamanan Nasional

13 May 2025, 19:40 WIB
Rencana Trump Terima Jet Mewah dari Qatar Picu Kekhawatiran Keamanan Nasional

Rencana Presiden Amerika Serikat Donald Trump untuk menerima jet mewah yang disumbangkan oleh pemerintah Qatar menuai kontroversi dan kekhawatiran serius di kalangan pakar intelijen serta pejabat pemerintah.

Jet tersebut dikabarkan akan digunakan sebagai pesawat kepresidenan Air Force One, yang memiliki sistem komunikasi dan pertahanan canggih untuk melindungi presiden AS saat bepergian.

Trump membela rencana tersebut dalam pidatonya di Gedung Putih pada Senin, menyebut sumbangan itu sebagai "isyarat yang luar biasa."

"Saya tidak akan menolak tawaran seperti itu. Maksud saya, saya bisa saja bertindak bodoh dan berkata, 'Tidak, kami tidak ingin pesawat gratis yang sangat mahal.' Tapi menurut saya, ini adalah isyarat yang luar biasa," ujar Trump, dikutip dari laman ABC, Selasa (13/5/2025).

Namun, Senator Jack Reed dari Partai Demokrat, yang juga anggota senior Komite Angkatan Bersenjata Senat, menentang keras rencana itu. Ia menyebut penggunaan pesawat dari negara asing sebagai Air Force One berisiko tinggi dalam hal kontraintelijen.

"Langkah ini menunjukkan sikap ceroboh terhadap keamanan nasional dan mencerminkan niat berbahaya untuk menukar kepentingan AS demi keuntungan pribadi," kata Reed. "Ini merusak martabat jabatan presiden dan mengkhianati kepercayaan rakyat AS."

Air Force One: Lebih dari Sekadar Jet Pribadi

Saat ini, armada Air Force One terdiri dari dua pesawat Boeing 747-200 yang telah digunakan sejak 1990. Meski berusia lebih dari 35 tahun, kedua pesawat ini masih dianggap sebagai salah satu yang paling aman di dunia. Pesawat ini dilengkapi sistem pertahanan antirudal, teknologi komunikasi tahan ledakan nuklir, dan fasilitas medis untuk operasi darurat. Semua sistem ini dirancang agar presiden bisa memimpin negara dari udara dalam kondisi darurat sekalipun.

John Cohen, mantan pejabat sementara Keamanan Dalam Negeri, mengatakan bahwa setiap kendaraan atau bangunan yang digunakan presiden otomatis menjadi target bernilai tinggi bagi badan intelijen asing.

"Pesawat ini dirancang bukan hanya untuk keselamatan fisik presiden, tapi juga menjamin komunikasi yang aman dengan militer, kabinet, dan pemimpin lainnya," ujarnya.

Jet dari Qatar: Hadiah atau Ancaman?

Jet dari Qatar: Hadiah atau Ancaman?

Jet mewah yang ditawarkan oleh Qatar adalah Boeing 747-8, dan jika digunakan sebagai Air Force One, perlu dipasangi ulang semua sistem keamanan dan komunikasi milik AS. Proses ini dinilai sangat kompleks dan memakan waktu.

Darrell Blocker, mantan agen CIA, menyebut rencana ini sebagai "mimpi buruk kontraintelijen."

"Sangat sulit memastikan bahwa pesawat buatan negara asing tidak dipasangi perangkat penyadap. Ini bukan langkah yang cerdas dari sudut pandang intelijen," kata Blocker.

Ia bahkan membandingkannya dengan kasus pembangunan Kedutaan Besar AS di Moskow pada 1980-an, yang harus dihancurkan karena ditemukan alat penyadap di hampir setiap sudut bangunan.

"Ingat kisah kuda Troya? Ini bisa jadi kasus serupa," sindirnya.

Risiko dan Ketidakjelasan Hukum

Risiko dan Ketidakjelasan Hukum

Menurut Cohen, agar pesawat itu benar-benar aman digunakan, militer harus membongkarnya hingga ke rangkanya untuk memastikan tidak ada perangkat mata-mata yang tersembunyi. Terlebih, Qatar diketahui memiliki hubungan diplomatik dengan negara-negara seperti Iran, Rusia, dan Tiongkok, yang memperbesar kekhawatiran akan keamanan nasional AS.

Hingga kini, pihak Gedung Putih belum memberikan tanggapan atas kekhawatiran ini. Namun, Sekretaris Pers Gedung Putih, Karoline Leavitt, mengatakan bahwa "detail hukum" dari sumbangan tersebut sedang dikerjakan, dan prosesnya akan dilakukan secara transparan dan sesuai hukum.

Trump sendiri menyatakan bahwa ia tidak akan menggunakan pesawat itu setelah masa jabatannya berakhir. Namun, laporan menyebut bahwa jet tersebut akan digunakan sebagai Air Force One hingga akhir masa jabatan Trump, dan setelah itu akan diserahkan kepada yayasan perpustakaan kepresidenannya.

Jika pesawat benar-benar beralih kepemilikan ke yayasan, sistem teknologi sensitif yang dipasang sebelumnya kemungkinan besar harus dilepas demi menjaga kerahasiaan dan keamanan negara.

Penilaian Akhir Bergantung pada Keamanan NasionalCohen menegaskan bahwa keputusan akhir seharusnya bergantung pada penilaian komunitas intelijen dan militer.

"Jika mereka menjalankan tugasnya, tim keamanan nasional presiden harus menjelaskan seluruh tingkat risiko, mulai dari kemungkinan penyadapan komunikasi hingga besarnya upaya yang dibutuhkan untuk mengamankan pesawat tersebut. Dengan informasi itu, barulah presiden bisa mengambil keputusan yang benar," tutupnya.

Rencana ini menyoroti perdebatan antara kepentingan diplomatik, keamanan nasional, dan kepatutan seorang pemimpin dalam menerima 'hadiah' dari negara asing --- terlebih ketika hadiah tersebut bisa berpotensi menjadi ancaman.

<p>Infografis Efek Donald Trump Menang Pilpres AS ke Perekonomian Global. (Liputan6.com/Abdillah)</p>
Sumber : Liputan6.com