194 Negara Sepakati Draf Perjanjian WHO untuk Bersatu Hadapi Pandemi Masa Depan
17 April 2025, 21:30 WIB:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/3421920/original/058731600_1617772997-document-agreement-documents-sign-48148.jpeg)
Setelah melalui negosiasi intensif selama tiga tahun, sebanyak 194 negara anggota Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) akhirnya menyelesaikan draf perjanjian bersejarah pada Rabu (16/4/2025), sebagai langkah kolektif untuk menghadapi pandemi di masa depan.
Draf tersebut dijadwalkan akan diajukan untuk pengambilan keputusan dalam World Health Assembly atau Majelis Kesehatan Dunia pada Mei 2025 mendatang.
Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus, menyambut pencapaian ini dengan optimisme. Ia menilai selesainya draf ini menjadi bukti bahwa multilateralisme masih relevan dan efektif, meski dunia tengah menghadapi polarisasi yang semakin tajam.
"Negara-negara masih bisa menemukan kesamaan dan bekerja sama dalam menghadapi ancaman besar,' ujarnya, seperti dikutip dari laman DW Indonesia, Kamis (17/4/2025).
Draf perjanjian ini dirancang untuk memperbaiki kekacauan yang terjadi selama pandemi COVID-19. Salah satu tujuannya adalah menciptakan sistem respons global yang lebih terkoordinasi dan adil, khususnya dalam hal pencegahan dan kesiapsiagaan menghadapi wabah.
Draf ini memuat sejumlah langkah penting, termasuk memperkuat kerja sama internasional, memperluas akses terhadap data patogen, dan memastikan sistem pembagian manfaat yang adil dari data tersebut.
Pendekatan One Health juga menjadi bagian penting dalam draf, yakni memperhatikan hubungan antara kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan sebagai bagian dari strategi pencegahan pandemi.
Advertisement
Transfer Teknologi Antar Negara
:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/4055381/original/054942800_1655391451-WHO.jpg)
Salah satu isu yang paling diperdebatkan selama proses negosiasi adalah Pasal 11, yang membahas tentang transfer teknologi medis ke negara-negara berkembang.
Ketimpangan distribusi vaksin dan alat tes saat pandemi menjadi latar belakang ketegangan antara negara maju dan berkembang. Negara-negara berkembang menuntut akses yang lebih adil terhadap teknologi medis, sementara negara-negara dengan industri farmasi besar menolak kewajiban transfer teknologi.
Sebagai kompromi, draf perjanjian menyerukan agar transfer teknologi diberikan insentif melalui regulasi, perjanjian lisensi, dan dukungan pembiayaan yang saling menguntungkan. Namun, semua langkah itu harus dilakukan atas dasar "kesepakatan bersama".
Menanggapi kekhawatiran tentang potensi campur tangan WHO terhadap kebijakan domestik, draf perjanjian secara eksplisit menegaskan bahwa setiap negara tetap memegang kedaulatan penuh dalam urusan kesehatan nasionalnya.
Draf tersebut menolak anggapan bahwa WHO akan memiliki kekuasaan untuk mengatur kebijakan nasional, seperti pemberlakuan karantina wilayah, mandat vaksinasi, atau larangan perjalanan.
"Tak satu pun dari poin dalam perjanjian ini dapat ditafsirkan sebagai pemberian wewenang kepada WHO untuk mengarahkan, mengubah, atau menetapkan hukum nasional," bunyi draf tersebut.
Perjanjian ini bersifat sukarela dan hanya akan berlaku bagi negara-negara yang memilih untuk meratifikasinya.
Advertisement
Simbol Persatuan Global
:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/4179275/original/044618700_1664798875-mufid-majnun-cM1aU42FnRg-unsplash.jpg)
Helen Clark, mantan Perdana Menteri Selandia Baru yang kini menjabat sebagai salah satu ketua Panel Independen WHO untuk Kesiagaan dan Respons Pandemi, menyebut penyelesaian draf ini sebagai pencapaian penting di masa sulit.
"Pada saat multilateralisme terancam, negara-negara anggota WHO justru bersatu untuk mengalahkan ancaman pandemi berikutnya---dengan satu-satunya cara yang mungkin: bekerja sama," ujarnya.
:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/4726147/original/092719800_1706170851-Infografis_SQ_WHO_Prediksi_Potensi_Penyakit_X_Jadi_Pandemi_Berikutnya.jpg)