Berikut beberapa fakta tentang perang narkoba selama masa kepresidenan Duterte dari 2016 hingga 2022:

Sebagai wali kota yang lama menjabat di Davao, Duterte dikenal dengan julukan "the punisher" atau "sang penghukum" karena kebijakannya yang keras. Pidatonya yang penuh umpatan dan ancaman kematian terhadap geng narkoba menjadi ciri khas kampanyenya yang sukses menuju kursi kepresidenan pada 2016.

Salah satu pernyataannya yang paling terkenal selama kampanye adalah: "Lupakan hukum tentang hak asasi manusia. Jika saya berhasil masuk ke istana presiden, saya akan melakukan hal yang sama seperti yang saya lakukan sebagai walikota. Kalian, pengedar narkoba, perampok, dan pemalas, lebih baik pergi. Karena saya akan membunuh kalian."

Duterte mengklaim bahwa kampanyenya di Davao telah membuat warga merasa aman dari kejahatan. Niatnya untuk melakukan tindakan keras dan berdarah juga diulanginya kepada wartawan selama masa kampanye.

"Saya katakan, mari kita bunuh lima penjahat setiap minggu agar mereka bisa diberantas," ujarnya kepada Reuters.

Tak lama setelah dilantik, Duterte dengan cepat memperluas kebijakan kerasnya ke seluruh Filipina. Pada akhir 2016, perang terhadap narkoba yang dia canangkan telah berjalan di seluruh negeri dan jumlah korban tewas mulai memecahkan rekor.

Dalam kurun waktu beberapa bulan setelah pelantikannya pada 30 Juni hingga akhir tahun itu, polisi dilaporkan menewaskan lebih dari 2.000 orang. Sebagian besar kematian ini diklaim sebagai hasil baku tembak antara polisi dan tersangka.

Tetap Populer

Meski tindakan keras ini menuai kontroversi dan menimbulkan banyak korban, popularitas Duterte tidak goyah. Survei yang dirilis oleh lembaga penelitian Social Weather Stations pada Desember 2016 menunjukkan bahwa 77 persen warga Filipina merasa puas dengan kinerjanya.

Pada 2018, jurnalis Reuters berhasil meraih penghargaan Pulitzer atas serangkaian laporan investigatif mereka tentang perang narkoba. Salah satu temuan penting mereka adalah rekaman kamera pengawas yang bertentangan dengan versi resmi pihak berwenang mengenai insiden baku tembak. Laporan ini mengungkap fakta-fakta yang mempertanyakan keabsahan narasi resmi, menunjukkan bahwa banyak kematian mungkin tidak terjadi seperti yang dilaporkan.

Dengan demikian, meski perang terhadap narkoba Duterte mendapat dukungan luas dari publik, praktiknya menimbulkan pertanyaan serius tentang transparansi dan akuntabilitas.

Ketika Duterte meninggalkan jabatannya pada 2022, jumlah korban resmi dari perang narkoba telah meningkat setidaknya tiga kali lipat. Menurut data polisi, 6.200 tersangka tewas, sementara pemerintah Filipina secara resmi mengakui 6.248 kematian.

Namun, para aktivis menyatakan angka sebenarnya jauh lebih tinggi. Ribuan pengguna narkoba dari kalangan miskin dan perkotaan, banyak yang masuk dalam daftar pantauan resmi, tewas dalam kondisi misterius.

Duterte tetap tidak menyesali kebijakannya dan bersikeras bahwa dia hanya memerintahkan polisi untuk bertindak dalam rangka membela diri, meski fakta di lapangan menunjukkan hal yang berbeda. Keluarga korban dan aktivis hak asasi manusia sering kali menggali kembali jenazah dan membandingkannya dengan sertifikat kematian serta laporan resmi. Puluhan kasus mengungkap kematian akibat kekerasan, meski sertifikat kematian menyebutkan penyebab alami.

Salah satu contoh, seorang korban dinyatakan meninggal karena pneumonia, padahal tengkoraknya memiliki lubang yang disebabkan peluru.

Jaksa Penuntut ICC bahkan memperkirakan bahwa hingga 30.000 orang mungkin telah tewas di tangan polisi atau pelaku tak dikenal selama perang narkoba ini berlangsung.

Awal Mula Penyelidikan dan Surat Perintah Penangkapan

Pada Februari 2018, kantor jaksa ICC menyatakan akan melakukan penyelidikan awal terhadap kematian-kematian di Filipina.

Tak lama setelahnya, Duterte menyatakan bahwa Filipina akan menarik diri dari ICC dan keputusan ini resmi berlaku pada Maret 2019. Meski begitu, menurut aturan ICC, pengadilan tetap memiliki yurisdiksi atas kejahatan yang terjadi selama periode keanggotaan suatu negara, bahkan setelah negara tersebut menarik diri.

Penyelidikan ICC sempat dihentikan sementara pada 2021 setelah Filipina mengklaim bahwa sistem peradilannya mampu menyelidiki dan menuntut dugaan pelanggaran secara mandiri. Namun, pada 2023, penyelidikan ini diaktifkan kembali karena ICC menilai upaya Filipina tidak memadai.

Awalnya, pemerintahan Marcos Jr. menegaskan tidak akan bekerja sama dengan ICC. Namun, pada akhir 2024, sikap ini berubah ketika pemerintah menyatakan kesediaannya untuk mematuhi setiap surat perintah penangkapan yang dikeluarkan. Dalam wawancara dengan Reuters pada Januari, menteri kehakiman Filipina juga menyatakan bahwa pemerintah terbuka untuk berkolaborasi dengan lembaga internasional tersebut.

Selama masa jabatannya, Duterte membentuk aliansi dengan keluarga Marcos -- anak dari mantan diktator Ferdinand Marcos yang telah lama berusaha kembali ke panggung politik. Duterte sendiri tidak bisa mencalonkan diri lagi dalam Pilpres 2022, tetapi putrinya, Sara, yang saat itu menjabat sebagai wali kota Davao, juga populer dan dianggap sebagai penerus yang kuat.

Di sisi lain, Marcos Jr. yang telah lama berkecimpung di politik memiliki peluang besar untuk menang dengan dukungan dana yang kuat. Kedua keluarga pun membuat kesepakatan: mereka akan bekerja sama untuk membawa Marcos Jr ke kursi kepresidenan dan Sara ke posisi wakil presiden. Harapannya, pada Pilpres 2028, Sara akan menjadi presiden dengan dukungan mesin politik Marcos.

Rencana berhasil. Marcos dan Sara memenangkan pilpres dengan margin yang lebar.

Duterte berharap aliansi ini akan melindunginya dari segala konsekuensi atas kebijakan kontroversialnya selama menjabat. Namun, ancaman terbesar baginya adalah investigasi ICC terkait ribuan pembunuhan di luar hukum, baik saat menjadi presiden maupun wali kota Davao.

Sikap Marcos Jr. yang semula menyatakan tidak akan bekerja sama dengan ICC dinilai berubah seiring dengan retaknya aliansi Duterte-Marcos.

Ketegangan antara kedua keluarga sudah terlihat sejak awal pemerintahan Marcos. Sara meminta untuk memimpin kementerian pertahanan, namun permintaannya ditolak. Dia justru ditunjuk untuk memimpin kementerian pendidikan.

Tidak hanya itu, Marcos juga mengambil jarak dari kebijakan Duterte yang dianggap tidak konsisten, seperti memperbaiki hubungan dengan AS, menantang China di Laut China Selatan, dan menghentikan ancaman keras terhadap pengedar narkoba.

Pada akhirnya, kedua keluarga ini adalah dua kekuatan politik yang ambisius dan haus kekuasaan. Namun, kekuasaan yang ada tidak cukup untuk dibagi. Hubungan mereka mencapai titik terendah tahun lalu ketika Sara mengumumkan dia telah menyewa pembunuh untuk membunuh Marcos Jr. jika sesuatu terjadi padanya.

Akhir tahun lalu, majelis rendah Kongres, yang didominasi oleh loyalis Marcos, mengajukan petisi untuk memakzulkan Sara. Persidangan rencananya akan digelar di Senat tahun ini. Jika Sara dimakzulkan, dia akan dilarang memegang jabatan politik tinggi, mengakhiri ambisi presidennya dan semakin melemahkan kekuatan politik keluarga Duterte.

Marcos Jr disebut bergerak cerdik untuk menetralisir saingan politik utamanya. Namun, strategi ini bukannya tanpa risiko. Keluarga Duterte masih populer di banyak wilayah Filipina dan berpotensi memobilisasi protes terhadap penuntutan mantan presiden tersebut.

Sara sendiri telah mengeluarkan pernyataan yang menuduh pemerintah menyerahkan ayahnya ke "kekuatan asing" dan melanggar kedaulatan Filipina.

Bagi ICC sendiri, kasus ini tidak bebas risiko. Mereka sedang menghadapi tantangan besar, terutama setelah pemerintahan Trump mengancam akan menangkap pejabat tinggi ICC jika mereka masuk ke AS. Selain itu, hanya sedikit negara yang bersedia mengekstradisi tersangka yang didakwa ICC. Membawa Duterte ke Den Haag mungkin terlihat sebagai kemenangan besar, namun bersamaan dengan itu ada peringatan dari China -- yang bukan anggota ICC dan sedang berseteru dengan Filipina -- agar kasus ini tidak dipolitisasi.

Peringatan China menyiratkan bahwa kasus ini, yang seharusnya tentang pertanggungjawaban atas kejahatan internasional serius, justru menjadi bagian penting dalam perseteruan politik domestik antara dua kekuatan yang bersaing di Filipina.

Melansir CNA, setelah tiba di Belanda, Duterte akan dibawa ke unit penahanan ICC untuk dipersiapkan menghadiri persidangan awal di hadapan hakim pengadilan. Tujuan persidangan awal ini adalah untuk memverifikasi identitasnya dan memberitahukan dakwaan kejahatan yang ditujukan kepadanya.

Unit penahanan ICC terletak di Scheveningen, sebuah kawasan pinggiran pantai di Den Haag, dan merupakan bagian dari penjara Belanda. Saat ini, unit tersebut menampung lima tahanan lain yang sedang menjalani proses persidangan di ICC. Tempat ini juga pernah digunakan untuk menahan para tersangka yang diadili oleh Pengadilan Kriminal Internasional untuk Yugoslavia (ICTY), termasuk tokoh-tokoh seperti Slobodan Milosevic, Radovan Karadzic, dan Ratko Mladic.

Di dalam unit penahanan, setiap tahanan menempati sel individu yang dilengkapi dengan komputer (tanpa akses internet), tempat tidur, meja, rak, lemari, toilet, wastafel, televisi, dan interkom untuk berkomunikasi dengan penjaga saat sel terkunci. Mereka juga diperbolehkan menggunakan area olahraga luar ruangan serta berpartisipasi dalam kegiatan olahraga dan rekreasi.

Setelah dakwaan resmi dikonfirmasi, pimpinan pengadilan akan membentuk kamar persidangan untuk mempersiapkan dan memulai proses persidangan terhadap Duterte.