Pelaku Pasar Waspadai Kebijakan Donald Trump
27 January 2025, 08:00 WIBPelaku pasar masih akan waspada terhadap kebijakan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump ke depan.
Pada pekan lalu, pelantikan resmi Presiden AS ke-47 Donald Trump menjadi sorotan. Beberapa perintah eksekutif telah ditandatangani Donald Trump mencakup isu kontroversial antara lain menarik diri dari Organisasi Kesehatan Dunia serta Perjanjian Iklim Paris.
"Dalam jangka pendek, pasar masih akan waspada terhadap sikap Trump terhadap kebijakannya," demikian seperti dikutip dari riset PT Ashmore Asset Management Indonesia, Senin (27/1/2025).
Dalam riset itu menyebutkan, kembalinya Donald Trump berada dalam skenario yang berbeda dengan beberapa tren makro ekonomi yang bergerak ke arah berbeda. "Namun, Trump lebih siap untuk melayani masa jabatan keduanya, dengan rencana dan tim yang lebih solid yang terlibat,"
Ashmore melihat dalam jangka pendek, pasar mengharapkan Donald Trump untuk menerapkan kebijakan yang lebih bersifat inflasioner meski melihat betapa tidak puasnya warga AS seiring lonjakan inflasi yang tinggi secara historis pada masa jabatan presiden sebelumnya.
"Hal ini dapat hasilkan konsumsi domestik yang kuat terutama pada kuartal pertama. Selain itu, pemerintah dapat memilih untuk meningkatkan pengeluaran pada awal, sementara senat tetap didominasi oleh Partai Republik,"
"Jika ini terwujud, pelaku pasar dapat mengharapkan konsumsi yang lebih kuat untuk meningkatkan ekonomi dan meningkatkan lapangan kerja, salah satu kekhawatiran the Federal Reserve (the Fed),"
Selain itu, dalam riset itu menyebutkan, pelaku pasar tetap mengharapkan sekitar satu kali penurunan suku bunga pada semester I 2025 sebelum mencapai titik terendahnya sekitar akhir 2025 hingga kuartal I 2026.
Advertisement
Langkah Bank Sentral Jepang Tak Mengejutkan
Adapun kejutan terbaru adalah mengenai nada Donald Trump mengenai tarif yang dikhawatirkan pasar akan fokus pada China.
"Sebaliknya, Donald Trump tampak lebih fokus pada penerapan tarif ke Meksiko dan Kanada sambil lebih berhati-hati dalam menerapkan tarif itu ke ekspor China,"
"Sikap tersirat tentang tarif telah membawa sedikit kelegaan dan ruang bernafas bagi China karena mereka tetap fokus pada dukungan pertumbuhan domestic yang terutama akan didorong melalu pasar properti dan pasar modal mereka,"
Adapun baru-baru ini, regulator keuangan China merilis rencana untuk mendukung pasar modal dengan mendorong lebih banyak likuiditas dan pembelian kembali saham. Jika tarif tetap berlaku sebagai ancaman daripada diterapkan sepenuhnya, pemulihan China mungkin akan berjalan lebih baik dari yang diharapkan.
Sementara itu, kenaikan suku bunga Bank of Japan (BoJ) atau Bank Sentral Jepang baru-baru ini dinilai tidak terlalu mengejutkan pasar karena tren inflasi terus pulih dengan angka inflasi tahunan terbaru berakhir lebih tinggi 3,6 persen dari yang diharapkan 3,2 persen. Ini adalah angka tertinggi secara historis, terutama mengingat rata-rata inflasi Jepang hanya 0,4 persen sejak 2000.
"Meskipun tindakan lebih lanjut belum jelas, pejabat BoJ optimistis dengan lintasan inflasi serta pasar global,"
Advertisement
Penerbitan Obligasi Bakal Ketat
Ashmore melihat penangguhan ancaman tarif oleh China dan penekanan lebih tinggi pada tarif Kanada dan Meksiko terbukti menjadi katalis potensial bagi ekspor Indonesia.
Selain itu, pemulihan China yang stabil dapat membawa efek limpahan positif karena Indonesia tetap menjadi mitra dagang yang signifikan. "Sementara itu, pembatasan terhadap Kanada dan Meksiko dapat memberi insentif kepada produsen untuk mencari tempat lain untuk produksi yang membantu negara berkembang secara keseluruhan,"
Selain itu, lelang Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) baru-baru ini mencatat rekor tertinggi Rp 103,15 triliun, sedangkan BI hanya Rp 25 triliun. Dengan demikian, yield SRBI 12 bulan turun menajdi 6,84 persen.
"Kami telah melihat penurunan serupa pada yield obligasi pemerintah di mana yield 10 tahun turun menjadi 7,05 persen dan yield dua tahun turun menjadi 6,85 persen,"
Ashmore melihat penurunan serupa pada yield obligasi pemerintah di mana yield obligasi bertenor 10 tahun turun menjadi 7,05 persen dan yield obligasi bertenor dua tahun turun menjadi 6,85 persen.
"Kami perkirakan penerbitan obligasi akan tetap ketat tahun ini dan yield akan tetap turun dalam jangka panjang. Oleh karena itu, kami tetap optimis pada obligasi dengan durasi yang lebih panjang,"